**PRADANAMEDIA/ PALANGKA RAYA – Video parodi Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), H. Agustiar Sabran, yang dibuat oleh kreator konten dengan akun “Saif Hola”, berbuntut panjang. Meskipun telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, Saifullah tetap harus menjalani proses hukum adat Dayak yang digelar oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah, Selasa (22/4).
Sidang adat berlangsung di Rumah Betang Hapakat, Jalan RTA Milono, Palangka Raya. Sidang tersebut dipimpin oleh Mantir Adat Kelurahan Menteng, Dandan Ardi, dan dihadiri tokoh-tokoh adat dari Kelurahan Bukit Tunggal, Petuk Katimpun, serta perwakilan dari Mantir Adat Kecamatan Jekan Raya dan Sebangau.

DAD Kalteng memfasilitasi sidang sebagai bentuk respons terhadap laporan masyarakat. Dalam persidangan, Saifullah menghadapi gugatan berdasarkan tiga pasal dalam hukum adat Tumbang Anoi 1894, yakni Singer Tekap Bau Mate (45 Kati Ramu), Singer Tandahan Randah (45 Kati Ramu), dan Singer Kasukup Belom Bahadat (250 Kati Ramu). Nilai denda adat yang dikenakan menjadi poin utama dalam proses ini.
Tokoh masyarakat Andreas Junaedy menyampaikan bahwa kasus ini harus menjadi pelajaran penting bagi masyarakat, khususnya para kreator konten digital, agar lebih bijak dalam bermedia sosial dan tidak sembarangan menyentuh sosok publik. “Ini menyangkut figur Gubernur Kalteng, pemimpin yang sangat dihormati masyarakat,” ujarnya.
Sidang lanjutan yang disebut Basara Hai akan digelar pada Jumat, 25 April 2025. Dalam sidang ini, akan diputuskan besaran denda adat yang wajib dibayar oleh Saifullah. Mantir Adat Dandan Ardi menegaskan bahwa penyelesaian melalui jalur adat mencerminkan komitmen masyarakat Dayak untuk menjaga nilai-nilai budaya dan kearifan lokal.
Dalam persidangan, Saifullah menjelaskan bahwa video parodi tersebut dibuat tanpa niat buruk, melainkan semata untuk hiburan. Ia menegaskan bahwa tidak ada unsur provokasi maupun sentimen negatif terhadap masyarakat Dayak. “Saya lahir dan besar di Palangka Raya, dan tidak pernah berniat menyinggung siapa pun,” kata Saifullah.
Ia menyampaikan penyesalan mendalam dan permohonan maaf secara terbuka kepada masyarakat Kalteng, DAD, serta khususnya kepada Gubernur Agustiar Sabran. “Ini adalah kesalahan pertama dan terakhir saya. Saya berharap bimbingan dari para tokoh adat agar masalah ini bisa diselesaikan dengan arif melalui jalur adat, dan tidak berlanjut ke ranah pidana,” tambahnya.
Dukungan LSR LPMT: Hormati Proses Adat dan Marwah Kearifan Lokal
Ketua Umum Lembaga Swadaya Rakyat (LSR) Laskar Pembela Marwah Tanah (LPMT) Kalteng, Agatisansyah atau yang akrab disapa Gatis, menyatakan dukungannya terhadap langkah Dewan Adat Dayak Kalteng dalam menyikapi kasus tersebut.
Menurut Gatis, pemanggilan Saifullah oleh DAD adalah hak penuh lembaga adat sebagai induk dari seluruh ormas di Kalteng, terutama mengingat posisi Gubernur Agustiar Sabran yang juga menjabat sebagai Ketua Umum DAD.
“Keputusan DAD wajib kita hormati bersama. Apalagi Bapak Gubernur adalah figur yang sangat dihormati masyarakat luas,” ujar Gatis, Senin (21/4). Ia menambahkan bahwa dirinya telah menyarankan secara langsung kepada Saifullah agar menghadiri sidang adat sebagai bentuk tanggung jawab moral.
Gatis juga menegaskan bahwa banyak pihak—mulai dari tokoh masyarakat, pemerintah daerah, aparat keamanan, hingga organisasi pemuda dan pers—telah dilibatkan untuk menjaga situasi tetap kondusif. “Semua ini demi menjaga Kalteng tetap aman dan damai,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Gatis mengajak seluruh masyarakat untuk menghormati keputusan DAD sebagai penjaga marwah adat Dayak. “Mari kita jaga Kalimantan Tengah ini dengan hati, dengan cinta, dan dengan rasa hormat terhadap adat istiadat kita sendiri,” tutupnya. (RH)
