**PRADANAMEDIA / PALANGKA RAYA – Warga dari empat desa di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas, yakni Desa Pilang, Simpur, Mantangai Hulu, dan Kalumpang, menyuarakan keluhan terkait larangan pembakaran lahan yang diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2020.
Perda tersebut diterapkan untuk mencegah dan mengendalikan kebakaran lahan, sekaligus meminimalkan dampak lingkungan yang ditimbulkannya. Namun, bagi sebagian besar warga yang berprofesi sebagai petani ladang, aturan ini dinilai menghambat metode bertani tradisional yang selama turun-temurun mengandalkan pembakaran lahan terkendali guna menyuburkan tanah, khususnya di lahan gambut.

Menurut warga, larangan ini menyebabkan hasil panen merosot drastis—batang padi menjadi pendek, bulir berkurang, dan produksi menurun. “Menanam tanpa membakar membuat hasilnya sangat sedikit,” ungkap salah satu warga.
Dalam pertemuan yang digelar di Gallery Tjilik Riwut, Palangka Raya, Kamis (14/8), forum Simpul Rakyat (Solidaritas Hak atas Pangan dan Gizi Kalteng) yang difasilitasi WALHI, FIAN, serta dua organisasi lainnya, menghadirkan tokoh Dewan Adat Dayak, Sidik R Usop. Ia menekankan pentingnya mempertimbangkan nilai budaya dan kearifan lokal dalam pengelolaan lahan.
Sidik menjelaskan, pembakaran lahan tradisional dilakukan secara bergilir dan terkendali, disertai ritual adat manyanggar yang bertujuan menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia gaib. “Budaya masyarakat mengatur agar lahan tidak dimanfaatkan secara serampangan. Setelah dibakar, lahan dibiarkan pulih sebelum digunakan kembali sehingga keberlanjutan pertanian tetap terjaga,” ujarnya.
Staf Ahli Gubernur Kalteng Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan, Yuas Elko, mengaku telah mencatat aspirasi tersebut. Ia menyarankan warga menyampaikan permintaan revisi secara tertulis agar dapat ditindaklanjuti. “Perubahan Perda Nomor 1 Tahun 2020 tidak bisa dilakukan dalam satu atau dua hari, tapi jika alasannya kuat, pembahasan bisa dilakukan di DPRD dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan,” katanya.
Organisasi masyarakat sipil mendorong agar Pemprov Kalteng mengevaluasi kebijakan ini, sehingga tercapai titik temu antara perlindungan lingkungan dan keberlanjutan mata pencaharian masyarakat adat. (RH)

