India Blokir Akun Tokoh Pakistan: Pembungkaman atau Strategi Keamanan?

HUKAM INTERNASIONAL

**PRADANAMEDIA/ NEW DELHI – Pemerintah India kembali menjadi sorotan setelah memblokir sejumlah akun media sosial milik tokoh-tokoh terkenal dari Pakistan, di tengah memanasnya hubungan bilateral kedua negara.

Langkah ini berdampak pada akun-akun milik mantan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, aktor Bollywood berdarah Pakistan Fawad Khan, hingga penyanyi Atif Aslam. Tak hanya itu, sejumlah pemain kriket ternama seperti Babar Azam, Mohammad Rizwan, serta mantan legenda kriket Shahid Afridi dan Wasim Akram juga turut terkena dampak pemblokiran akses di India.

Selain akun individu, lebih dari selusin kanal YouTube asal Pakistan yang dituding menyebarkan konten provokatif juga ikut diblokir. Pemerintah India mengklaim langkah ini sebagai bentuk perlindungan terhadap keamanan nasional dan upaya membatasi penyebaran informasi yang dinilai berpotensi mengganggu stabilitas.

Namun, kebijakan ini menuai kritik dari berbagai kalangan. Banyak yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk pembungkaman terhadap media independen dan suara-suara kritis. Salah satu pemilik akun komunitas, Ameer Al Khatahtbeh, menyatakan bahwa pemblokiran ini merupakan bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi.

“Ketika platform dan negara mencoba membungkam media, itu justru menunjukkan bahwa kami menjalankan tugas kami dengan memegang mereka yang berkuasa agar bertanggung jawab,” ujar Al Khatahtbeh, yang juga mendesak Meta untuk segera memulihkan akses akun-akun yang diblokir di India.

Pemblokiran ini terjadi di tengah eskalasi konflik terbaru antara India dan Pakistan, menyusul serangan misil India ke wilayah Pakistan. Serangan itu diklaim sebagai balasan atas dugaan keterlibatan Islamabad dalam serangan mematikan terhadap turis di wilayah Kashmir yang dikuasai India, pada Selasa (22/4/2025). Pemerintah Pakistan membantah tuduhan tersebut dan bersumpah akan melakukan pembalasan.

Setidaknya 43 orang dari kedua negara telah dilaporkan tewas akibat konflik yang disebut sebagai yang paling mematikan dalam dua dekade terakhir. Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pemerintah India terkait kebijakan pemblokiran tersebut. Meta, selaku pemilik platform, juga menolak memberikan komentar langsung dan hanya merujuk pada kebijakan internal perusahaan yang memungkinkan pembatasan konten apabila melanggar hukum lokal.

Situasi ini mempertegas dilema antara kepentingan keamanan nasional dan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi di era digital. Kebijakan semacam ini memunculkan pertanyaan lebih besar: apakah langkah pemblokiran merupakan respons sah terhadap ancaman, atau justru preseden berbahaya bagi demokrasi digital? (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *