PRADANAMEDIA / BEIJING – China tengah mempercepat pembangunan jalur perdagangan darat baru untuk menyalurkan barang ekspor langsung ke Eropa tanpa harus melewati jalur laut di Laut China Selatan. Strategi ini dinilai sebagai langkah Beijing mengurangi ketergantungan pada rute maritim yang rawan konflik dengan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Kota Chongqing, yang terletak di wilayah pegunungan barat daya China, kini berkembang menjadi pusat utama jalur perdagangan tersebut. Media Euronews (2/9) menyebut Chongqing berpotensi menjadi “Terusan Suez” baru di Asia.
Rute baru ini mengandalkan kereta barang berkecepatan tinggi yang setiap hari mengangkut ratusan kontainer dari Asia Tenggara menuju Eropa. Dengan jalur darat ini, waktu tempuh pengiriman bisa 10–20 hari lebih cepat dibandingkan jalur laut tradisional, sekaligus menghadirkan proses bea cukai yang lebih sederhana.

Sejak 2023, jalur kereta ASEAN yang menghubungkan Hanoi–Chongqing telah memangkas waktu pengiriman menjadi hanya lima hari. Dari Chongqing, barang ekspor China dapat mencapai Jerman maupun Polandia dalam kurang dari dua minggu.
Chongqing sendiri bukan sekadar kota transit, melainkan basis industri besar dunia. Sekitar sepertiga laptop global dirakit di kota ini. Selain itu, Chongqing menjadi pusat industri kendaraan listrik, sekaligus penyumbang seperempat ekspor mobil China.
Faktor Geopolitik dan Koridor Tengah
Pengamat menilai proyek jalur darat ini lebih dari sekadar efisiensi logistik, melainkan bagian dari strategi geopolitik. Perang dagang China–AS di era Donald Trump menunjukkan risiko besar jika Beijing terlalu bergantung pada jalur laut internasional seperti Selat Malaka, Selat Hormuz, dan Terusan Suez.
Pandemi Covid-19 makin memperlihatkan rapuhnya rantai pasok global berbasis laut. Kondisi semakin kompleks dengan pecahnya perang Rusia–Ukraina, yang membuat pengiriman via Rusia dianggap berisiko tinggi. Bahkan, pada 2023 sejumlah kargo China sempat disita di tengah tensi geopolitik, meskipun nilai perdagangan kedua negara masih menembus 240 miliar euro pada 2024.
Sebagai alternatif, Beijing kini mendorong pengembangan “Koridor Tengah” yang melewati Kazakhstan dan Laut Kaspia. Rute ini diharapkan dapat menghindari jalur Rusia maupun selat strategis yang dikuasai negara lain.
Namun, hambatan masih mengadang, mulai dari proses bea cukai yang berbelit, biaya logistik tinggi, hingga infrastruktur yang belum merata. Selain itu, ketergantungan pada subsidi pemerintah untuk menarik minat eksportir membuat keberlanjutan finansial proyek ini masih dipertanyakan. (RH)
