**PRADANAMEDIA / JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menegaskan bahwa pemerintah bersama DPR RI kini tidak memiliki pilihan lain selain merumuskan kembali Undang-Undang (UU) Pemilu. Hal ini menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal (DPRD serta kepala daerah), dengan jeda waktu 2 hingga 2,5 tahun pasca pelantikan presiden dan anggota legislatif hasil pemilu nasional.

“Ini sudah jadi putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Pemerintah dan DPR harus menindaklanjuti dengan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu, termasuk menyelesaikan sejumlah persoalan turunan, seperti masa jabatan anggota DPRD,” ujar Yusril saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu (2/7),
Namun, Yusril menyoroti adanya potensi pelanggaran konstitusi jika keputusan MK ini diterapkan tanpa penyesuaian mendalam. Ia mempertanyakan apakah perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa melalui pemilihan umum dapat dibenarkan secara konstitusional.
“Bagaimana dengan masa jabatan anggota DPRD? Kalau diperpanjang tanpa pemilu, bukankah itu bisa bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional? Karena jelas, DPRD dipilih langsung oleh rakyat,” ujarnya.
Menurutnya, Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 telah menyatakan secara tegas bahwa pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden. Maka dari itu, putusan MK yang menciptakan jeda antar pemilu, dinilai Yusril, dapat membuka ruang tafsir yang bertentangan dengan konstitusi.
Bunyi Pasal 22E UUD 1945:
(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta DPRD.
“Enggak bisa ada tafsir lain. Pemilu ya harus setiap lima tahun, satu siklus untuk seluruh lembaga perwakilan dan eksekutif,” tegas Yusril.
Meski demikian, Yusril juga menegaskan bahwa pemerintah tetap harus menghormati putusan MK. Kementerian Dalam Negeri akan menjadi ujung tombak dalam merumuskan langkah teknis ke depan, dengan koordinasi dari kementerian yang ia pimpin terkait aspek hukum dan konstitusionalitasnya.
“Nanti akan dilihat mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan mana yang harus dilakukan DPR dalam revisi UU tersebut,” imbuhnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam perkara No. 135/PUU-XXII/2024. MK menyatakan bahwa pemilu lokal sebaiknya tidak digabung dengan pemilu nasional, mengingat beban berat teknis dan administratif saat pemilu serentak 2019 yang bahkan menyebabkan jatuhnya korban jiwa di kalangan penyelenggara.
Selain itu, MK juga menilai bahwa isu pembangunan daerah sering kali tenggelam dalam dinamika politik nasional akibat pelaksanaan pemilu yang serentak. Oleh karena itu, Mahkamah menyarankan adanya pemisahan waktu antara pemilu nasional dan lokal demi efektivitas pemerintahan daerah.
Putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan daerah adalah momen penting yang mengubah arsitektur demokrasi elektoral Indonesia. Namun, kompleksitas teknis dan potensi pelanggaran prinsip dasar konstitusi memerlukan kajian mendalam. Proses revisi UU Pemilu harus dilakukan secara transparan, inklusif, dan berpijak pada prinsip supremasi konstitusi serta mandat rakyat. Jangan sampai, atas nama efisiensi teknis, demokrasi elektoral justru dikompromikan. (RH)
