Usulan Advokat: Penahanan Tersangka Setelah Vonis, Solusi Atasi Rutan Sesak

HUKAM NASIONAL

PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Advokat Maqdir Ismail mengusulkan agar penahanan terhadap tersangka dilakukan setelah adanya putusan pengadilan, kecuali dalam kondisi tertentu. Menurutnya, langkah ini dapat mengurangi kepadatan rumah tahanan (rutan) yang selama ini menjadi persoalan.

Usulan ini disampaikan Maqdir dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang digelar di Komisi III DPR RI, Gedung DPR, Jakarta, pada Rabu (5/3).

“Saya mengusulkan agar penahanan dilakukan setelah ada putusan pengadilan, kecuali bagi mereka yang tidak memiliki alamat yang jelas atau pekerjaan yang tidak diketahui,” ujar Maqdir.

Tidak Semua Tersangka Harus Ditahan

Maqdir menekankan bahwa bagi tersangka yang memiliki alamat jelas dan latar belakang yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaiknya tidak perlu ditahan, terutama jika bukti yang menguatkan dugaan keterlibatan mereka masih lemah.

“Figur publik, tokoh politik, atau mereka yang rumahnya jelas dapat dengan mudah diawasi tanpa harus ditahan, apalagi jika belum ada bukti kuat yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam tindak pidana,” imbuhnya.

Menurutnya, perubahan kebijakan ini penting untuk dipertimbangkan dalam revisi KUHAP agar menghindari kondisi rutan yang penuh sesak. Ia bahkan mengibaratkan kondisi rutan saat ini seperti “orang disusun seperti sarden”, yang jika terus dibiarkan bisa dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Belajar dari Belanda

Sebagai referensi, Maqdir menyebut praktik hukum di Belanda, di mana penahanan sebelum persidangan jarang dilakukan. Menurutnya, sistem seperti ini bisa menjadi acuan bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan hukum acara pidana yang lebih adil.

“Kalau saya tidak salah, di Belanda saat ini sangat jarang orang ditahan dalam tahap prapersidangan. Ini menunjukkan adanya pendekatan yang lebih mengedepankan asas praduga tak bersalah,” jelasnya.

Penetapan Tersangka Harus Berdasarkan Bukti Substansial

Selain soal penahanan, Maqdir juga mengkritisi penetapan tersangka yang selama ini hanya didasarkan pada dua alat bukti yang tidak selalu kuat. Dalam kasus korupsi, misalnya, sering kali seseorang ditetapkan sebagai tersangka hanya berdasarkan keterangan saksi dan pendapat ahli, tanpa adanya bukti konkret mengenai kerugian keuangan negara.

“Sekarang ini, KPK atau Kejaksaan Agung kerap menetapkan tersangka hanya berdasarkan keterangan saksi dan ahli manajemen. Padahal, ahli tersebut bukan ahli keuangan negara, melainkan hanya menilai potensi kerugian dari transaksi tertentu,” ujar Maqdir.

Menurutnya, bukti kerugian keuangan negara harus nyata dan pasti, bukan sekadar asumsi dari ahli. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa bukti permulaan dalam penetapan tersangka harus substansial dan relevan dengan unsur pasal yang dipersangkakan.

Dengan berbagai masukan ini, Maqdir berharap RUU KUHAP dapat lebih menjamin keadilan bagi tersangka serta mengurangi beban sistem peradilan pidana di Indonesia. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *