Suciwati: Penulisan Ulang Sejarah Berisiko Cuci Bersih Pelanggaran HAM Berat

NASIONAL SOSIAL BUDAYA

**PRADANAMEDIA / JAKARTA – Aktivis HAM sekaligus istri almarhum Munir Said Thalib, Suciwati, menilai bahwa upaya penulisan ulang sejarah berpotensi menjadi alat untuk “mencuci bersih” kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan memberi narasi positif bagi rezim yang berkuasa.

“Kita melihat kecenderungan penulisan sejarah ini hanya untuk cuci bersih,” ujarnya di Jakarta, Jumat (15/8). Menurutnya, langkah tersebut rawan melahirkan kebohongan publik, apalagi jika dikuasai oleh pihak yang memiliki kepentingan politik.

Suciwati menilai pergantian kekuasaan di Indonesia kerap diiringi dengan konstruksi narasi baru yang tidak mencerminkan kebenaran sejarah. “Rezim berganti, tetapi yang ditulis selalu kebohongan,” katanya.

Ia menyoroti bahwa janji pemerintah yang berulang kali disampaikan namun tidak pernah direalisasikan semakin menguatkan anggapan bahwa kasus pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan Munir, tidak pernah ditangani serius. “Mereka tidak malu-malu membuat pernyataan, tapi tak pernah direalisasikan. Terutama dalam kasus pelanggaran HAM berat. Kasus Munir, berapa kali presiden berjanji?” ungkapnya.

Sejarah Tidak Boleh Ditulis Penguasa

Menurut Suciwati, penulisan sejarah harus dilakukan oleh pihak yang kompeten dan independen, seperti sejarawan atau pihak yang memiliki rekam jejak dalam mengadvokasi kasus HAM. “Sejarah itu tidak boleh ditulis penguasa. Harusnya ditulis oleh orang-orang organik yang kompeten,” tegasnya.

Sebagai bentuk perlawanan, ia bersama korban dan penyintas mulai menuliskan kisah mereka sendiri. Narasi ini, kata Suciwati, bertujuan melawan pengingkaran terhadap keberadaan korban dan kejahatan kemanusiaan. “Teman-teman korban sudah mulai menulis kisah mereka. Di situ jelas tidak seperti versi rezim yang mengingkari korban,” ujarnya.

Langkah ini juga dibarengi dengan upaya masuk ke ruang-ruang pendidikan, bekerja sama dengan guru sejarah untuk mengenalkan kisah korban pelanggaran HAM kepada generasi muda. “Kami masuk ke ruang sekolah supaya korban tidak diabaikan dan ceritanya tidak dihapus,” kata Suciwati.

Waspada Ruang Kebebasan yang Terbatas

Meski demikian, Suciwati mengingatkan bahwa ruang kebebasan ini bisa sewaktu-waktu ditutup oleh kekuasaan. “Hari ini kita bisa gunakan ruang apa pun. Tapi kita tahu, jika mereka berkuasa lebih semena-mena, ruang itu bisa ditutup,” ujarnya.

Ia juga memperingatkan masyarakat agar waspada terhadap sistem yang dibangun untuk menekan kritik, termasuk potensi pembatasan di media sosial. “Diam saja, kita tidak melawan, mereka akan terus menaikkan tekanannya. Itu bagian dari sistem yang mereka bangun,” pungkasnya. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *