OLEH : Firdaus Arifin / Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
PRADANAMEDIA / JAKARTA — Hampir satu tahun sudah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka berjalan. Di awal masa jabatannya, Presiden Prabowo berjanji bahwa hukum akan menjadi panglima—sebuah komitmen yang disambut harapan besar oleh masyarakat yang sudah lelah menyaksikan hukum kerap tunduk pada kekuasaan.
Namun, menjelang satu tahun pemerintahan, janji itu masih terasa menggantung di udara. Hukum memang bekerja, tetapi belum sepenuhnya berdaulat. Ia hadir, tetapi masih dibayangi intervensi. Ia berbicara, namun sering kali berbisik di depan kekuasaan.
Negara hukum yang dijanjikan belum benar-benar pulang menjadi rumah bagi keadilan; ia masih menjadi ruang kompromi antara idealisme dan kepentingan politik.

Janji di Atas Hukum
Dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo menegaskan pentingnya supremasi hukum dan penegakan keadilan tanpa pandang bulu. Komitmen itu kemudian dituangkan dalam delapan misi pemerintahan—Asta Cita—yang menempatkan reformasi hukum dan pemberantasan korupsi sebagai salah satu prioritas utama.
Namun, menjelang Oktober 2025, publik masih bertanya-tanya: di mana letak kemajuan nyata dari janji tersebut?
Salah satu janji yang paling ditunggu adalah pembentukan Komite Reformasi Polri, lembaga independen yang diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap kepolisian. Pemerintah menyebut nama-nama calon anggota komite telah disiapkan, namun Keputusan Presiden yang dijanjikan belum juga terbit.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memang telah membentuk Tim Reformasi Internal Polri sebagai langkah awal. Tetapi, tim tersebut bersifat administratif dan tidak memiliki legitimasi moral maupun politik sebagaimana komite yang dijanjikan presiden. Reformasi yang dijalankan akhirnya berhenti di level teknokratis—tidak menyentuh akar persoalan etika dan budaya hukum.
Reformasi hukum tanpa kepemimpinan moral hanya akan melahirkan birokrasi baru, bukan perubahan sejati.
KPK dan Bayang-Bayang Kekuasaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menjadi simbol keberanian negara melawan korupsi. Kini, lembaga itu seperti kehilangan nyali.
Dalam laporan kinerja semester I 2025, KPK hanya mencatat dua operasi tangkap tangan (OTT)—di Ogan Komering Ulu dan Sumatera Utara—angka terendah dalam beberapa tahun terakhir. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto bahkan meminta maaf kepada publik, dengan mengatakan bahwa “penjahatnya kini lebih pintar.”
Pernyataan itu jujur, tapi juga ironis. Sebab, yang tampak bukan meningkatnya kecerdikan pelaku, melainkan menurunnya keberanian penegak hukum.
KPK memang menambah tiga OTT di paruh kedua tahun ini dan mengklaim berhasil memulihkan sekitar Rp 500 miliar uang negara. Namun bagi publik, KPK tidak diukur dari angka, melainkan dari keberaniannya menegakkan keadilan—terutama ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Kini, lembaga antirasuah itu cenderung berhati-hati, bahkan terlampau berhati-hati. Dari penjaga nurani bangsa, KPK tampak berubah menjadi bagian dari sistem yang menjaga keseimbangan politik.
Keberanian KPK menurun bukan karena hukum melemah, melainkan karena politik menebal.
Kejaksaan Aktif, Tapi Masih Aman
Berbeda dengan KPK, Kejaksaan Agung justru tampil paling aktif dalam penegakan hukum pada tahun pertama pemerintahan ini. Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin, lembaga ini berhasil memulihkan aset negara dari kasus Jiwasraya senilai Rp 5,56 triliun, menyerahkan hasil rampasan ke negara, dan menangkap sejumlah buronan korupsi.
Kinerja tersebut patut diapresiasi. Namun publik juga mencatat bahwa sebagian besar perkara yang ditangani bersifat teknis ekonomi dan tidak menyentuh lingkar kekuasaan politik.
Kinerja administratif yang gemilang belum tentu mencerminkan keberanian moral. Hukum ekonomi mungkin tegak, tetapi hukum terhadap kekuasaan masih menunduk.
Tanpa keberanian menyentuh lingkar kekuasaan, penegakan hukum hanya menjadi etalase prestasi, bukan tonggak keadilan.
RUU dan Jalan Sunyi Legislasi
Pemerintah juga tengah menggenjot pembahasan dua rancangan undang-undang besar: RUU Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Perampasan Aset.
RUU KUHAP diharapkan dapat memperbarui sistem peradilan pidana agar lebih efisien dan modern. Namun, kalangan akademisi mengingatkan bahwa rancangan ini justru memperluas kewenangan penyidik—terutama dalam hal penahanan dan penyadapan—tanpa memperkuat kontrol yudisial.
Adapun RUU Perampasan Aset yang menawarkan mekanisme perampasan tanpa putusan pidana (non-conviction based) dinilai progresif, namun juga rawan disalahgunakan untuk kepentingan politik jika pengawasannya lemah.
Hukum pidana seharusnya dibangun di atas keseimbangan: kuat dalam menindak, tapi rendah hati dalam berkuasa.
RUU yang tergesa-gesa bisa melahirkan hukum yang otoriter, bukan hukum yang adil.
Keadilan yang Masih Timpang
Laporan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada Agustus 2025 mencatat, lebih dari 70 persen perkara pidana di pengadilan masih berasal dari pelanggaran ringan, bukan dari kejahatan besar seperti korupsi atau pelanggaran HAM.
Fenomena ini menunjukkan bahwa hukum masih tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ia cepat menjerat rakyat kecil, namun lambat menegakkan keadilan terhadap pejabat atau korporasi besar.
Ketika keadilan menjadi kemewahan yang bisa dibeli, negara hukum kehilangan jiwanya.
Menanti Keberanian, Bukan Sekadar Janji
Menjelang satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran, publik menantikan tindakan konkret, bukan sekadar wacana.
Presiden harus menjadi penjamin kedaulatan hukum, bukan sekadar pembicara dalam pidato hukum. Publik menunggu komite reformasi yang benar-benar bekerja, bukan sekadar tim yang sibuk menulis laporan.
Meski hukum belum berdaulat, harapan belum mati. Masih ada penyidik yang menolak perintah tidak sah, jaksa yang bekerja dalam diam, dan hakim yang memutus perkara dengan nurani.
Negara hukum tidak hidup karena presiden berpidato, tetapi karena aparatnya berintegritas.
Dan hukum hanya akan berdaulat bila keadilan ditempatkan lebih tinggi dari kepentingan politik.
Satu tahun berlalu, hukum memang berdiri—tetapi belum tegak dengan wibawa.
Dan selama kejujuran belum memimpin, hukum kita akan terus berjalan,
namun tanpa arah yang benar-benar merdeka. (RH)


 
	 
						 
						