**PRADANAMEDIA/ JAKARTA — Tim penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia memastikan bahwa hasil kerja mereka bukanlah bentuk propaganda seperti di masa Orde Baru, melainkan karya ilmiah yang dapat diuji secara terbuka oleh publik. Proyek ini diklaim sebagai upaya menghadirkan sejarah resmi negara yang ditulis berdasarkan metodologi akademis dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Sejarah resmi ini bukan propaganda. Ini disusun dengan standar ilmiah, dan hasilnya terbuka untuk dikritik,” ujar Prof. Singgih Tri Sulistiyono, editor umum proyek penulisan sejarah nasional, Senin (19/5).
Prof. Singgih, yang juga merupakan guru besar sejarah dari Universitas Diponegoro (UNDIP), menekankan bahwa sejarah versi baru ini bukan “kebenaran tunggal” yang tidak boleh diganggu gugat. Menurutnya, setiap sejarawan memiliki hak untuk menanggapi atau bahkan menulis narasi tandingan.

“Beda dengan zaman Orde Baru. Dulu kalau ada versi lain, bisa dibredel. Sekarang, insyaallah tidak begitu. Silakan kritik, tulis ulang, dan beri perspektif lain,” imbuhnya.
Rencananya, sejarah nasional versi baru ini akan diluncurkan pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Menteri Kebudayaan Fadli Zon sebelumnya menyatakan bahwa proyek ini melibatkan lebih dari 100 sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Namun, proyek ini tak lepas dari sorotan tajam publik. Penolakan keras datang dari kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI). Mereka khawatir proyek ini menjadi cara halus negara untuk mengontrol narasi sejarah dan memonopoli kebenaran.
“Ini adalah bentuk kontrol pikiran rakyat yang dikemas halus melalui sejarah. Negara ingin menetapkan satu versi sejarah resmi yang dominan,” kata Ketua AKSI, Marzuki Darusman, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi X DPR RI, Senin (19/5).
AKSI mendesak agar proses penulisan sejarah tidak hanya melibatkan unsur negara dan akademisi, tetapi juga membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi komunitas sejarah independen, masyarakat adat, dan pelaku sejarah alternatif.
Prof. Singgih sendiri mengakui bahwa tidak ada sejarah yang sepenuhnya objektif. Namun, ia menegaskan bahwa negara punya tanggung jawab moral untuk menyusun versi resmi sejarahnya sebagai bentuk refleksi dan pertanggungjawaban atas masa lalu bangsa.
“Setiap sejarah pasti ditulis dari perspektif tertentu. Tapi negara tetap berhak memiliki narasi resmi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif terhadap sejarahnya sendiri,” jelasnya. (RH)
