Putusan MK soal UU ITE: Oase Demokrasi di Padang Gersang Kebebasan Berekspresi

OPINI PUBLIK

OLEH : Raihan Muhammad Aktivis HAM, Pemerhati Politik dan Hukum Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis

**PRADANAMEDIA/ OPINI PUBLIK – Dalam sistem demokrasi, kebebasan berekspresi bukan sekadar hak biasa, melainkan hak mendasar yang menopang seluruh sendi pemerintahan berbasis kedaulatan rakyat. Sayangnya, praktik penegakan hukum di Indonesia kerap menjadikan norma-norma multitafsir sebagai alat represi terhadap ekspresi sah warga negara.

Di tengah ketidakpastian hukum itu, hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 29 April 2025 bak oase yang menyegarkan. Melalui Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 dan 105/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) harus dimaknai secara ketat agar tidak menjadi instrumen kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat.

Salah satu poin kunci adalah pembatasan makna frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE, yang tidak lagi mencakup lembaga negara, institusi, profesi, maupun korporasi. Dengan demikian, kritik terhadap badan publik atau entitas korporasi tidak lagi dapat dikenai pasal pencemaran nama baik. Ini merupakan kemajuan penting yang sejalan dengan Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 12 Tahun 2005.

Putusan MK ini juga mempertegas bahwa istilah “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE hanya dapat diterapkan dalam konteks gangguan ketertiban umum di ruang fisik. Ketegangan di media sosial atau dunia maya tak bisa otomatis dipidana. Ini memperkuat prinsip strict legality—tidak ada kejahatan tanpa hukum yang jelas (nullum crimen sine lege certa).

Lebih lanjut, MK menafsirkan frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A secara sempit dan proporsional, hanya mencakup tindakan yang benar-benar merendahkan martabat pribadi seseorang. Pendekatan ini mencerminkan prinsip pro persona dalam hukum hak asasi manusia—di mana semua interpretasi hukum harus mengarah pada perlindungan maksimal atas hak individu.

Mahkamah juga menegaskan bahwa ujaran kebencian baru dapat dipidana apabila memenuhi kriteria advocacy of hatred sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ICCPR: dilakukan secara terbuka, disengaja, dan berdasarkan identitas tertentu. Dengan demikian, kritik politik, satire, ekspresi netral, atau pernyataan yang sekadar menimbulkan ketidaknyamanan, tidak bisa serta-merta dijerat secara pidana.

Putusan ini menandai pentingnya judicial activism sebagai penjaga kehidupan konstitusi. Seperti dikatakan Ronald Dworkin, hakim bukan sekadar corong undang-undang, melainkan penafsir aktif yang memastikan hukum tetap selaras dengan nilai-nilai keadilan substantif. MK dalam hal ini telah menjalankan fungsi konstitusionalnya secara progresif dan berani.

Namun, putusan normatif saja tidak cukup. Tantangan utama terletak pada implementasi di lapangan: bagaimana polisi, jaksa, hakim, dan aparat lainnya mengubah paradigma penegakan hukum agar selaras dengan semangat putusan ini. Tanpa perubahan budaya hukum, putusan MK ini hanya akan menjadi angin segar sesaat yang tak berdampak nyata—oase yang berubah menjadi fatamorgana.

Dalam demokrasi, kebebasan berekspresi adalah oksigen. Jika oksigen ini dicekik, demokrasi perlahan mati dalam diam. Karena itu, putusan MK harus dilihat sebagai fondasi awal untuk pembaruan menyeluruh terhadap UU ITE dan perlindungan hak digital di Indonesia.

Pembentuk undang-undang harus segera mengambil tanggung jawab konstitusional untuk melakukan harmonisasi UU ITE dengan standar internasional. Setiap pembatasan terhadap kebebasan berekspresi harus memenuhi prinsip necessity dan proportionality—dalam arti hanya diberlakukan bila benar-benar diperlukan untuk melindungi kepentingan umum yang sah dan secara proporsional terhadap ancamannya.

Lebih jauh lagi, reformasi harus menjangkau praktik: aparat penegak hukum dan masyarakat luas perlu dibekali pemahaman utuh tentang batasan hukum ekspresi. Jika tidak, maka ruang digital kita akan terus dibayang-bayangi kriminalisasi atas dasar tafsir yang lentur dan subjektif.

Putusan MK pada 29 April 2025 adalah bukti bahwa konstitusi adalah dokumen hidup, yang harus terus ditafsirkan secara dinamis seiring perkembangan masyarakat. Dalam terang putusan ini, kita diingatkan bahwa tugas melindungi kebebasan berekspresi tidak berhenti di Mahkamah. Itu adalah tugas kolektif seluruh bangsa. Sebab, dalam senyapnya ruang publik, demokrasi bisa runtuh tanpa suara. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *