**PRADANAMEDIA / BANGKOK – Ketegangan militer antara Thailand dan Kamboja yang dipicu sengketa perbatasan kini merambah ke dunia maya. Warga kedua negara terlibat dalam “perang digital” dengan saling serang komentar, unggahan, dan tagar yang memanaskan situasi geopolitik.
Mengutip laporan BBC pada Sabtu (26/7), netizen Thailand dan Kamboja saling melempar tuduhan atas bentrokan yang terjadi di wilayah perbatasan. Aksi saling salah menyalahkan ini berkembang liar, didorong oleh narasi-narasi resmi dari masing-masing pemerintah serta unggahan yang memperkuat sentimen kebencian nasionalistik.

Salah satu unggahan viral dari warga Kamboja menampilkan video dengan tulisan “Justice for Cambodia”, yang menuduh pasukan Thailand sebagai pihak pertama yang melakukan penembakan. Tak tinggal diam, warga Thailand membalas dengan komentar tajam seperti, “Siapa yang percaya negara pembohong terbesar itu?”
Konflik digital ini juga diwarnai perang tagar. Dari pihak Thailand muncul tagar #CambodiaOpenedFire, sementara netizen Kamboja melawan dengan #ThailandOpenedFire, disertai video-video tandingan yang kian memperkeruh suasana.
Persaingan Budaya Meningkatkan Eskalasi
Sengketa antara kedua negara tidak hanya terbatas pada klaim teritorial, tapi juga melebar ke ranah budaya. Persaingan terjadi dalam klaim atas warisan budaya seperti tarian tradisional, busana adat, hingga kuliner.
Sebutan sinis seperti “Claimbodia” kerap digunakan oleh netizen Thailand untuk menyindir Kamboja, yang dibalas dengan tudingan “pencuri Siam” dari warga Kamboja.
Tensi ini bahkan telah terjadi sejak SEA Games 2023, ketika para atlet Muay Thai Thailand memboikot pertandingan karena tuan rumah Kamboja memperkenalkan olahraga tersebut sebagai Kun Khmer. Ketegangan kembali meningkat pada Juli 2025 setelah Kamboja mencalonkan tradisi pernikahan Khmer ke UNESCO, yang menuai kritik keras dari publik Thailand karena dianggap sebagai bentuk perampasan budaya.
Konflik Digital Menjalar ke Dunia Nyata
Ketegangan yang bermula dari dunia digital mulai menimbulkan dampak di dunia nyata. Sebuah video viral memperlihatkan seorang pria Thailand menampar seorang pekerja asal Kamboja karena menolak berbicara dalam bahasa Thailand. Insiden tersebut memicu keprihatinan banyak pihak.
“Kita mulai menyaksikan tindak kekerasan bahkan di antara kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak terlibat konflik langsung,” ujar Prof. Wilaiwan Jongwilaikasaem dari Universitas Thammasat.
Asosiasi jurnalis dari kedua negara pun telah menyerukan agar masyarakat bijak dalam bermedia sosial dan tidak menyebarkan konten provokatif atau informasi yang tidak terverifikasi.
Ketegangan Merambah Elit Politik
Konflik juga merembet ke kalangan elit. Mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, dalam unggahan di platform X, menyatakan dirinya terbuka untuk menjadi penengah, namun menambahkan bahwa “militer Thailand perlu mengajari Hun Sen sebuah pelajaran.”
Pernyataan tersebut memantik respons keras dari Hun Sen, mantan perdana menteri sekaligus figur kuat di Kamboja. Ia menuding Thaksin telah mengkhianati negaranya sendiri.
Sengketa ini semakin kompleks setelah bocornya rekaman percakapan telepon antara Hun Sen dan Perdana Menteri Thailand saat itu, Paetongtarn Shinawatra—putri Thaksin—yang berujung pada skorsing Paetongtarn dari jabatannya dan memicu skandal politik besar.
Indonesia dan Komunitas Internasional Diminta Waspada
Pemerintah Indonesia turut memantau perkembangan konflik ini. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi meminta semua pihak untuk tidak memperkeruh suasana dengan komentar politik yang bisa memperburuk eskalasi. Ia menekankan bahwa peningkatan konflik ini bukan hanya membahayakan stabilitas kawasan, tetapi juga bisa berdampak pada kepentingan Indonesia.
Meski belum mencapai level perang terbuka, konflik Thailand-Kamboja telah memunculkan dinamika yang mengancam stabilitas kawasan. Dengan meningkatnya ketegangan baik di perbatasan maupun di media sosial, perdamaian tampaknya masih jauh dari jangkauan, sementara masyarakat sipil terus menjadi korban dari panasnya konflik politik dan identitas budaya. (RH)
