Palangka Raya – Dalam sistem hukum pidana Indonesia, jaksa memiliki peran sentral dalam proses penegakan hukum. Konsep Dominus Litis merupakan asas universal yang melekat pada jaksa, yang memberikan kewenangan penuh dalam mengendalikan proses penuntutan, termasuk menentukan apakah suatu perkara layak untuk dilanjutkan ke persidangan atau diselesaikan melalui pendekatan lain, seperti keadilan restoratif. Kehadiran Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menjadi landasan bagi jaksa dalam melakukan penegakan hukum pidana yang berorientasi pada keadilan restoratif.
Urgensi Penguatan Dominus Litis
Penguatan asas Dominus Litis dalam Rancangan Undang-Undang Kejaksaan (RUU Kejaksaan) bertujuan untuk:
- Meningkatkan Efektivitas Penegakan Hukum
Dengan memperkuat kewenangan jaksa dalam menentukan kelanjutan perkara, proses hukum dapat berjalan lebih efisien dan menghindari kriminalisasi berlebihan terhadap pelaku kejahatan yang seharusnya dapat diselesaikan di luar pengadilan. - Mewujudkan Keadilan Restoratif
Dengan kontrol penuh atas penuntutan, jaksa dapat mengarahkan kasus-kasus tertentu untuk diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif, yang lebih mengedepankan pemulihan korban dan pelaku daripada sekadar penghukuman. - Menjaga Independensi Kejaksaan
Kewenangan jaksa sebagai Dominus Litis dapat memperkuat independensi lembaga kejaksaan dalam menangani perkara pidana, tanpa intervensi dari pihak lain, termasuk kepolisian atau lembaga lain.
Beberapa kelemahan utama dari asas Dominus Litis antara lain:
Kurangnya Akuntabilitas – Tidak adanya checks and balances yang memadai dapat melemahkan transparansi dalam proses penuntutan.
Tumpang Tindih Kewenangan – Kejaksaan yang memiliki kendali penuh dalam penuntutan dapat berkonflik dengan kewenangan penyidik di Kepolisian, yang berpotensi memperlambat proses hukum.
Potensi Penyalahgunaan Wewenang – Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, jaksa bisa saja menggunakan kewenangan tersebut untuk kepentingan tertentu, termasuk tekanan politik dan ekonomi.
Ketimpangan dalam Sistem Peradilan Pidana – Dengan kewenangan yang lebih besar, jaksa dapat bertindak subjektif dalam menentukan apakah suatu perkara layak dilanjutkan atau dihentikan, yang berpotensi mencederai prinsip keadilan. (KN)
Penolakan dari FKOP-KT
Menanggapi polemik tentang RUU KUHAP dan RUU Kejaksaan RI Koordinator Forum Kebangsaan Ormas dan Paguyuban (FKOP-KT), Adhi Abdianor, secara tegas menolak pemberlakuan asas Dominus Litis dalam RUU Kejaksaan RI. Menurutnya, pemberian kewenangan absolut kepada jaksa dalam menentukan kelanjutan perkara akan membuka peluang besar terjadinya praktik-praktik penyalahgunaan wewenang.
“Kami menolak keras asas Dominus Litis dalam RUU Kejaksaan karena bertentangan dengan prinsip checks and balances dalam sistem hukum kita. Kewenangan penuh jaksa dalam menentukan kelanjutan perkara tanpa pengawasan ketat justru akan menciptakan potensi ketidakadilan dan korupsi dalam penegakan hukum,” tegas Adhi Abdianor.
FKOP-KT menilai bahwa pemberlakuan asas ini dapat mencederai prinsip keadilan dan menimbulkan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, mereka menyerukan agar DPR dan pemerintah mempertimbangkan kembali penerapan asas ini dalam RUU Kejaksaan demi menjaga keseimbangan dalam sistem hukum Indonesia.
“Jika asas ini diberlakukan, kewenangan penyidikan akan menjadi rancu dan dapat menimbulkan kekacauan, yang pada akhirnya merugikan masyarakat,” ungkap Adhi dalam sebuah konferensi pers.
Adhi menilai bahwa pemberlakuan asas ini dapat mencederai prinsip keadilan dan menimbulkan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana. Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa tanpa pengawasan yang ketat dan mekanisme kontrol yang jelas, asas Dominus Litis justru berpotensi memberikan jaksa kewenangan absolut yang bisa disalahgunakan. Tutupnya. (KN)
