**GLOBAL/ BERLIN – Jerman menjadi salah satu negara yang membuka akses pendidikan tinggi secara luas dengan menggratiskan biaya kuliah bagi semua mahasiswa, baik warga lokal maupun mahasiswa internasional. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak tahun 2014 di hampir seluruh universitas negeri untuk jenjang sarjana.
Langkah progresif ini menjadikan Jerman sebagai salah satu destinasi utama bagi pelajar dari seluruh dunia yang menginginkan pendidikan berkualitas tanpa beban biaya tinggi, terutama ketika negara-negara berbahasa Inggris seperti Inggris dan Amerika Serikat masih mematok biaya kuliah yang mahal.
Mahasiswa di Jerman hanya diwajibkan membayar biaya administrasi per semester yang relatif terjangkau, yaitu antara 100 hingga 350 euro (sekitar Rp 1,9 juta hingga Rp 6,6 juta). Biaya tersebut biasanya sudah mencakup berbagai fasilitas kampus, termasuk transportasi umum di kota tempat mereka belajar.

Alasan di Balik Kuliah Gratis di Jerman
Kebijakan ini tidak hanya dilandasi alasan sosial, tetapi juga memiliki pertimbangan strategis dari sisi ekonomi dan demografi. Jerman menghadapi tantangan serius berupa populasi yang menua dan kekurangan tenaga kerja muda. Untuk itu, membuka akses pendidikan tinggi seluas-luasnya menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Menurut laporan BBC pada 13 September 2015, hanya sekitar 27 persen anak muda di Jerman yang melanjutkan ke perguruan tinggi, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Inggris. Melalui pendidikan gratis, pemerintah Jerman berupaya menarik minat lebih banyak generasi muda untuk kuliah serta menarik mahasiswa internasional yang potensial.
Steffen Krach, Sekretaris Sains Berlin, menekankan pentingnya kehadiran mahasiswa asing di Jerman. “Kami senang ketika pengetahuan dan keterampilan dari berbagai negara datang ke Jerman, terutama ketika mereka membawa ide-ide bisnis dan mendirikan startup di Berlin,” ujarnya.
Visa Kerja untuk Lulusan Internasional
Tak hanya mempermudah akses pendidikan, pemerintah Jerman juga memberikan visa kerja selama 18 bulan kepada lulusan internasional agar mereka dapat mencari pekerjaan dan membangun karier di negara tersebut. Kebijakan ini terbukti efektif, karena berdasarkan survei dari Layanan Pertukaran Akademik Jerman (DAAD), sekitar 50 persen mahasiswa internasional berencana menetap di Jerman setelah lulus, bahkan 30 persen di antaranya ingin tinggal secara permanen.
Kebijakan pendidikan gratis dan inklusif ini menjadi bukti nyata bagaimana Jerman memanfaatkan pendidikan sebagai alat diplomasi dan strategi pembangunan jangka panjang. Dengan menggabungkan kualitas pendidikan, kemudahan akses, dan prospek karier yang menjanjikan, Jerman membuka pintu lebar bagi talenta-talenta muda dari seluruh dunia untuk belajar, tumbuh, dan berkontribusi. (RH)
