Krisis Kepemimpinan Korea Selatan: Yoon Dipecat, Negeri Ginseng Hadapi Transisi Politik Penuh Gejolak

INTERNASIONAL PEMERINTAHAN

**PRADANAMEDIA/ SEOUL – Korea Selatan resmi memasuki babak baru dalam sejarah politiknya setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memecat Presiden Yoon Suk Yeol pada Jumat (4/4). Pemakzulan ini menjadi klimaks dari rangkaian krisis politik yang telah mengguncang Negeri Ginseng selama berbulan-bulan.

Keputusan bersejarah ini muncul setelah Yoon mencoba menetapkan status darurat militer, langkah kontroversial yang gagal total dan justru memicu gelombang demonstrasi nasional. Mahkamah menyatakan bahwa tindakan Yoon melanggar prinsip dasar konstitusi Korea Selatan, dan seluruh wewenang serta hak istimewanya langsung dicabut.

Dari Presiden Menjadi Tersangka

Dengan diberhentikannya Yoon, statusnya berubah dari kepala negara menjadi warga sipil biasa. Ia kini tidak lagi memiliki hak istimewa sebagai presiden, termasuk kekebalan hukum. Yoon kini harus bersiap menghadapi dakwaan serius, termasuk tuduhan pemberontakan yang dapat berujung hukuman penjara berat, bahkan hukuman mati.

Selama menjabat, Yoon sempat memveto upaya penyelidikan terhadap sang istri, Kim Keon Hee, yang terseret berbagai skandal. Kini, jaksa bebas menyelidiki keduanya tanpa batasan kekuasaan. “Dengan Yoon tak lagi berkuasa, penyelidikan akan mengarah pada seluruh lingkaran dalam kekuasaannya,” ujar pengacara Yoo Jung-hoon kepada AFP.

Pemilu Kilat: Presiden Baru Dalam 60 Hari

Sesuai konstitusi, pemilihan presiden harus digelar dalam waktu 60 hari. Media lokal memprediksi pemungutan suara akan berlangsung awal Juni 2025, dengan pemenang langsung dilantik keesokan harinya—tanpa masa transisi.

Untuk sementara, Perdana Menteri Han Duck-soo menjalankan pemerintahan sebagai penjabat presiden. Sebelumnya, ia sempat dimakzulkan, namun Mahkamah Konstitusi membatalkan pemakzulan tersebut, menjadikannya tokoh kunci selama masa transisi.

Pertarungan Dua Arah: Lee Jae-myung vs Kim Moon-soo

Peta politik menjelang pemilu menunjukkan dominasi oposisi. Lee Jae-myung, pemimpin Partai Demokrat, saat ini menjadi kandidat terkuat dengan dukungan 34 persen menurut survei Gallup. Lee dikenal sebagai figur rakyat, dengan latar belakang sebagai pekerja pabrik dan korban kecelakaan industri yang membuatnya putus sekolah. Ia hampir menang dalam pemilu 2022, dan kini berada di puncak elektabilitas.

Di kubu konservatif, Menteri Tenaga Kerja Kim Moon-soo memimpin dengan elektabilitas 9 persen. Mantan aktivis kiri yang kemudian beralih haluan ke kanan ini dipuji karena menolak mendukung status darurat militer. Karakternya yang keras dan “berprinsip” menarik simpati pendukung Yoon.

Bayang-bayang Yoon dan Tantangan Geopolitik

Meski telah lengser, Yoon meninggalkan warisan ideologis sayap kanan yang kuat. “Pengaruh politiknya mungkin bertahan lebih lama dari masa jabatannya,” ungkap Ji Yeon Hong dari Universitas Michigan. Pola dukungan terhadap Yoon dianggap telah membentuk gerakan konservatif yang lebih terorganisir secara struktural.

Presiden yang baru terpilih nanti akan menghadapi tantangan besar—baik domestik maupun internasional. Di dalam negeri, ia harus menjembatani polarisasi politik yang semakin tajam. Di luar negeri, menjaga hubungan strategis dengan AS dan Jepang menjadi prioritas.

“Mempertahankan aliansi trilateral dengan AS dan Jepang sangat krusial,” ujar Gi-wook Shin dari Universitas Stanford. Selain itu, kebijakan AS terhadap Korea Utara di bawah kepemimpinan Donald Trump akan turut memengaruhi stabilitas regional.

“Hubungan dengan Korea Utara tidak bisa dikesampingkan,” tegas Vladimir Tikhonov dari Universitas Oslo, memperingatkan bahwa dinamika Semenanjung Korea bisa berubah drastis tergantung pendekatan presiden berikutnya. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *