PRADANAMEDIA / TOKYO – Jepang menghadapi gejolak politik serius setelah Partai Komeito secara resmi menarik diri dari koalisi pemerintahan pada Jumat (10/10). Keputusan tersebut mengguncang fondasi aliansi yang telah bertahan hampir 25 tahun dan sekaligus mengancam peluang Sanae Takaichi untuk menjadi perdana menteri perempuan pertama dalam sejarah Negeri Sakura.
Takaichi baru sepekan menjabat sebagai Ketua Partai Demokrat Liberal (LDP), menggantikan Shigeru Ishiba yang lengser setelah setahun menjabat. Awalnya, ia diperkirakan dengan mudah akan disetujui parlemen untuk menduduki kursi perdana menteri. Namun, langkah Komeito memutus hubungan dengan LDP memunculkan babak baru ketidakpastian politik di Tokyo.

Nilai yen langsung melemah terhadap dolar AS usai pengumuman tersebut, sementara indeks Nikkei ditutup turun satu persen. Ketua Komeito, Tetsuo Saito, menjelaskan partainya keluar karena tidak memperoleh komitmen konkret dari LDP terkait sejumlah agenda reformasi yang telah lama diperjuangkan.
“Kami memutuskan untuk menarik diri dari koalisi dan menghentikan hubungan dengan LDP untuk saat ini,” ujar Saito kepada wartawan, dikutip dari AFP.
“Selama tuntutan reformasi kami tidak mendapat tanggapan jelas, kami tidak mungkin mendukung pencalonan Sanae Takaichi sebagai perdana menteri,” imbuhnya.
Menurut laporan media setempat, Saito juga menilai respons Takaichi terhadap skandal dana politik LDP baru-baru ini terlalu lemah. Meski demikian, Komeito memastikan akan tetap mendukung rancangan anggaran serta beberapa undang-undang yang telah disepakati bersama, setidaknya demi menjaga stabilitas pemerintahan jangka pendek.
Konservatisme dan Tantangan Legitimasi
Kehilangan Komeito membuat koalisi LDP kini tidak lagi memiliki mayoritas di kedua majelis parlemen, situasi yang kian diperparah oleh ketidakpuasan publik terhadap inflasi dan praktik politik uang.
Komeito disebut juga keberatan dengan pandangan politik Takaichi yang lebih konservatif, termasuk kebiasaannya berziarah ke Kuil Yasukuni, tempat penghormatan bagi korban perang yang juga mencantumkan nama penjahat perang kelas satu. Tradisi ini kerap memicu ketegangan diplomatik dengan China, Korea Selatan, dan bahkan Washington.
Takaichi, yang dikenal dekat dengan mendiang Shinzo Abe, disebut akan menahan diri untuk tidak berkunjung ke kuil tersebut pada festival musim gugur 17–19 Oktober mendatang, guna meredam tekanan internasional.
Era Baru yang Penuh Ujian
Dalam pidato kemenangannya sebagai ketua LDP, Takaichi (64) menyebut masa kepemimpinannya sebagai “era baru bagi Jepang”. Ia menyingkirkan rival kuat Shinjiro Koizumi (44), politisi muda berhaluan progresif yang dikenal telegenik dan sempat digadang-gadang menjadi perdana menteri termuda di era modern Jepang.
Namun jalan Takaichi kini tidak mulus. Di tengah menurunnya dukungan publik terhadap LDP, sejumlah partai kecil seperti Sanseito justru menunjukkan peningkatan popularitas dengan mengusung agenda nasionalisme dan anti-imigrasi.
Jika akhirnya berhasil duduk di kursi perdana menteri, Takaichi akan menghadapi serangkaian tantangan besar: populasi menua, ekonomi stagnan, ketegangan geopolitik di Asia Timur, serta isu sensitif soal tenaga kerja asing.
Salah satu agenda resmi pertamanya, bila dilantik, adalah menerima kunjungan Presiden AS Donald Trump di Tokyo pada akhir Oktober — sebuah pertemuan yang dinilai akan menjadi ujian diplomasi awal bagi “era baru” yang ia janjikan. (RH)

