Iuran Jaminan Sosial Wajib di China: UMKM Ketar-ketir, Pekerja pun Waswas

EKONOMI INTERNASIONAL

PRADANAMEDIA / BEIJING – Mulai 1 September 2025, pemerintah China mewajibkan seluruh pengusaha membayar iuran jaminan sosial bagi karyawan mereka. Skema ini mencakup dana pensiun, asuransi kesehatan, cuti melahirkan, hingga berbagai tunjangan sosial lain.

Kebijakan tersebut digulirkan demi memperkuat jaring pengaman sosial China yang selama ini dianggap rapuh. Namun, alih-alih disambut gembira, aturan baru ini justru menimbulkan keresahan, terutama di kalangan pelaku usaha kecil dan para pekerja.

UMKM Terancam Gulung Tikar

Bagi pemilik usaha kecil, beban tambahan ini dirasa berat. Biaya tenaga kerja dipastikan melonjak, padahal kondisi bisnis tengah lesu.

Yan Xuejiao, pemilik warung mi beras di Beijing, mengaku cemas. Ia menilai banyak usaha sejenis akan terpaksa menutup pintu.

“Kalau dipaksa membayar iuran, ya kami harus tutup dan pulang saja. Tahun ini bisnis sudah parah. Pemilik restoran mana yang masih sanggup bertahan dengan sewa tinggi dan omzet rendah?” ujarnya sembari menunjuk deretan toko kosong di sekitarnya.

Kondisi ini menempatkan pemerintah dalam dilema: di satu sisi Beijing membutuhkan dana segar untuk menopang sistem pensiun nasional yang diprediksi habis pada 2035. Namun di sisi lain, ekonomi yang sedang lesu membuat UMKM sulit bertahan.

Beban Tambahan bagi Pekerja

Tak hanya pengusaha, para pekerja pun ikut resah. Mereka harus berbagi pembayaran iuran dengan perusahaan.

ZZ Zeng, pegawai restoran di Beijing, memperkirakan gajinya akan berkurang lebih dari 1.000 yuan (sekitar Rp 2,3 juta) setiap bulan.

“Gaji saya 6.000 yuan. Setelah dipotong, cicilan rumah 5.000 yuan bisa menguras tabungan. Uang di tangan jauh lebih berarti ketimbang asuransi yang entah bisa saya nikmati atau tidak,” keluhnya.

Beberapa pekerja khawatir perusahaan akan mengakali aturan dengan mengganti pegawai tetap menjadi pekerja harian. Bahkan, ada pengusaha salon yang sudah terang-terangan berencana memangkas gaji karyawan untuk menutup biaya tambahan.

Aturan Lama yang Baru Ditegakkan

Sebenarnya, kewajiban membayar iuran sosial bukan hal baru di China. Regulasi ini sudah ada sejak lama dengan besaran rata-rata 10 persen dari gaji pekerja dan 25 persen dari pihak pengusaha. Namun, selama bertahun-tahun aturan itu jarang ditegakkan.

Banyak perusahaan lebih memilih memberikan uang tunai tambahan ketimbang menyetor iuran resmi. Survei tahun lalu bahkan menemukan hanya kurang dari 30 persen perusahaan yang benar-benar patuh.

Situasi berubah setelah Mahkamah Agung China menegaskan perjanjian informal itu tidak sah. Kini, pengadilan akan mendukung pekerja yang menuntut hak atas iuran jaminan sosial mereka.

Ketidakpercayaan Generasi Muda

Meski tujuannya melindungi pekerja, kebijakan ini belum mampu menghapus keraguan generasi muda. Mereka pesimistis dana pensiun akan tersedia saat mereka memasuki usia tua.

“Kalau saya harus membayar 20 tahun ke depan, apakah dana itu masih ada ketika saya pensiun? Itu pun kalau saya masih hidup,” kata Yan, sambil mengungkapkan skeptisnya terhadap sistem yang ada.

Zongyuan Zoe Liu, peneliti di Council on Foreign Relations, menilai keraguan itu berakar pada sejarah penyalahgunaan dana pensiun di tingkat lokal, serta stagnasi pendapatan pekerja.

“Kalau gaji tidak naik, bagaimana orang percaya kontribusi hari ini akan terdistribusi puluhan tahun ke depan?” ujarnya.

Sementara itu, akademisi seperti Lu Quan dari Universitas Renmin menilai pemerintah seharusnya menurunkan tarif kontribusi agar tidak terlalu membebani UMKM.

Persoalan Lebih Dalam: Kepercayaan Publik

Pada akhirnya, masalah ini bukan sekadar soal angka atau pertumbuhan ekonomi, melainkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap sistem. Tanpa keyakinan bahwa dana mereka aman dan akan kembali di masa depan, kebijakan ini justru berisiko memperlebar jarak antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *