Jakarta – Gerakan Pemerhati Kepolisian (GPK) mengingatkan masyarakat agar tidak terburu-buru berprasangka buruk (suudzon) terkait isu dugaan seorang perwira menengah polisi berpangkat AKBP memeras bos jaringan klinik laboratorium Prodia. Isu tersebut muncul setelah anak bos Prodia diduga terlibat dalam kasus pembunuhan di Jakarta Selatan.

“Jangan langsung berprasangka buruk. Semua harus dibuktikan, jangan sampai termakan hoaks,” tegas Sekretaris Jenderal GPK, Muhammad, dalam pernyataannya hari ini.
Muhammad juga mengimbau masyarakat untuk tetap bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang belum jelas kebenarannya. “Hindari termakan opini yang menyesatkan tanpa adanya bukti konkret. Banyak hoaks beredar hanya untuk membangun narasi tertentu. Publik harus lebih dewasa menyikapi era digital seperti ini,” ujarnya.
Dugaan Pemerasan
Sebelumnya, muncul narasi yang menyebut oknum polisi berpangkat AKBP tersebut meminta uang senilai Rp 20 miliar kepada bos Prodia untuk menghentikan penyidikan. Polisi itu disebut pernah menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Selatan sebelum dimutasi ke Polda Metro Jaya.
Kasus ini bermula dari dugaan pembunuhan dua remaja, N (16) dan X (17), yang ditangani oleh Polres Jakarta Selatan. Kedua korban dilaporkan tewas setelah diduga mengalami pelecehan seksual dan dicekoki narkoba. Laporan terkait kasus ini tercatat dengan nomor LP/B/1181/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel dan LP/B/1179/IV/2024/SPKT/Polres Metro Jaksel pada April 2024.
Tersangka utama dalam kasus ini adalah Arif Nugroho dan Muhammad Bayu Hartanto, yang merupakan anak dari bos Prodia. Dalam perjalanan penyidikan, muncul tuduhan bahwa sang perwira polisi meminta uang Rp 20 miliar sebagai syarat untuk menghentikan kasus dan membebaskan tersangka.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi atau klarifikasi dari pihak Polri mengenai dugaan tersebut. Publik diimbau untuk menunggu perkembangan resmi dari institusi yang berwenang sebelum menarik kesimpulan. (RH)
