**PRADANAMEDIA/ NUSANTARA – Uji coba kereta tanpa rel atau Autonomous Rail Transit (ART) di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang dilakukan pada Agustus hingga Oktober 2024 resmi dinyatakan gagal. Teknologi buatan CRRC Qingdao Sifang, China, ini tak mampu beroperasi secara otonom di kondisi nyata IKN dan akhirnya dikembalikan ke negara asal pada 29 April 2025.
Kegagalan ini memang mengecewakan, namun menjadi momen penting untuk memperkuat arah pembangunan smart mobility di IKN. Hal ini ditegaskan oleh Deputi Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN, Mohammed Ali Berawi (Ale), dalam wawancara khusus bersama Kompas.com. Bersama pakar Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), berikut lima pelajaran penting dari kegagalan ART:

1. Teknologi Asing Harus Diadaptasi dengan Konteks Lokal
Salah satu penyebab utama kegagalan ART adalah ketidakmampuan sistem otonomnya beroperasi dalam lingkungan lalu lintas campuran (mixed traffic) yang masih dinamis dan belum stabil. Sensor dan AI ART belum dioptimalkan untuk kondisi jalan yang belum sepenuhnya selesai dibangun, termasuk gangguan dari kendaraan proyek.
Di Tiongkok, ART beroperasi di jalur khusus dengan infrastruktur yang mapan. Namun, di IKN, konteks tropis, kontur tanah, serta interaksi dengan kendaraan lain menuntut adaptasi teknologi yang lebih mendalam. Oleh karena itu, kolaborasi dengan kampus-kampus seperti UI, ITB, dan ITS sangat dibutuhkan untuk menyesuaikan teknologi dengan kebutuhan lokal.
2. Evaluasi Ketat sebagai Penjaga Mutu
Otorita IKN menerapkan sistem evaluasi berbasis Proof of Concept (PoC) yang ketat, melibatkan pakar independen dan asosiasi profesional dengan empat indikator utama: kualitas teknologi, interoperabilitas, nilai ekonomis, dan transfer teknologi.
ART gagal karena sistem otonom yang tidak andal, sistem pengereman tidak responsif, dan desain yang tidak mendukung operasi dua arah. Harganya yang diperkirakan mencapai Rp 70 miliar per unit dinilai tidak sepadan dengan performa yang diberikan. Pendekatan laboratorium hidup (living lab) ini terbukti menyaring teknologi yang belum layak diterapkan di skala besar.
3. Fleksibilitas dalam Strategi Mobilitas IKN
Meskipun ART gagal, IKN tidak berhenti mengejar misi menjadi kota berbasis mobilitas cerdas. Bersama Kemitraan Indonesia–Australia untuk Infrastruktur (KIAT), Otorita IKN kini tengah menyusun masterplan mobilitas terpadu berbasis Mobility-as-a-Service (MaaS) yang mengintegrasikan bus listrik, sepeda listrik, hingga transportasi udara perkotaan (urban air mobility).
Kegagalan ini justru mendorong eksplorasi solusi yang lebih relevan dan adaptif menuju target 10-minute city, yakni kota di mana 80% perjalanan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, bersepeda, atau transportasi umum.
4. Pengadaan Teknologi Harus Transparan dan Efisien
Meski PoC ART ditanggung oleh penyedia teknologi (Norinco dan CRRC), biaya yang tinggi tetap menjadi sorotan. Ale menegaskan pentingnya pengadaan yang transparan, berbasis analisis biaya-manfaat, dan mengutamakan transfer teknologi serta potensi produksi lokal.
IKN ke depan akan memperketat proses pengadaan agar tidak hanya mengejar kecanggihan teknologi, tetapi juga efisiensi biaya dan keberlanjutan industri nasional.
5. Kolaborasi Ilmiah sebagai Fondasi Inovasi Berkelanjutan
Salah satu kekurangan ART adalah minimnya pembaruan sistem sebelum uji coba, terutama dalam aspek komunikasi dan keamanan siber. IKN kini belajar dari kesalahan ini dengan memperkuat kajian ilmiah dan uji lokal sebelum implementasi.
Kolaborasi riset dengan kampus dan lembaga internasional terus didorong, seperti dalam pengembangan sistem Autonomous Driving System (ADS) dan Advanced Traffic Management System (ATMS), serta PoC taksi terbang bersama Hyundai yang akan diuji terbatas pada 2026–2028.
Optimisme Tak Surut: IKN Tetap Jadi Pusat Inovasi
Meski kereta tanpa rel gagal beroperasi otonom, Otorita IKN tetap optimistis. IKN ingin menjadi Technology and Knowledge Hub yang selektif dalam menyaring teknologi. Pelajaran dari kegagalan ini memperkuat desain Intelligent Transportation System (ITS) berbasis IoT untuk periode 2025–2029.
“Kami tetap yakin dengan target smart mobility tahap kedua, termasuk penggunaan sensor IoT, aplikasi MaaS, dan smart traffic lights untuk mendukung target emisi nol bersih pada 2045,” tegas Ale. (RH)
