Dugaan Permainan Anggaran Publikasi RSUD Tamiang Layang, Wartawan Siap Laporkan ke Aparat

HUKAM LOKAL

PRADANAMEDIA / TAMIANG LAYANG – Aroma tak sedap menyeruak dari balik kerja sama publikasi antara sejumlah media dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tamiang Layang. Anggaran kontrak media yang disampaikan secara resmi oleh Direktur RSUD Tamiang Layang, dr. Vinny Safari, kini menuai tanda tanya besar.

Pasalnya, beberapa wartawan yang tercantum sebagai rekanan dalam daftar resmi menilai nilai kontrak yang mereka terima di lapangan tidak sesuai dengan angka yang tercantum dalam dokumen. Sejumlah jurnalis pun mulai bersuara lantang dan berencana melaporkan dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tersebut ke aparat penegak hukum.

Dalam daftar resmi Tahun Anggaran 2025, RSUD Tamiang Layang tercatat bekerja sama dengan belasan media dengan nilai kontrak bervariasi—mulai dari Rp3,6 juta hingga Rp36 juta per tahun. Namun, fakta di lapangan disebut jauh berbeda dari data resmi tersebut.

Salah satu wartawan media online Patraindonesia.com, Mardianto, menegaskan pihaknya akan menindaklanjuti dugaan penyimpangan ini ke pihak berwenang. Ia menilai ada indikasi kuat permainan anggaran serta keterlibatan oknum yang mencoreng citra profesi wartawan.

“Kami sudah berkoordinasi dengan pihak Reskrim Polres Barito Timur dan diarahkan untuk melapor ke bagian Tipikor. Kami akan kawal kasus ini sampai tuntas, agar jelas siapa oknum yang merusak marwah wartawan,” tegasnya, Jumat (10/10).

Mardianto juga menyoroti pesan yang beredar di grup WhatsApp Bartim Membangun, di mana seorang wartawan menuding adanya “wartawan penjilat dan korup” yang menerima kontrak dari RSUD. Menurutnya, tuduhan tersebut justru memperkeruh suasana dan membuat banyak wartawan merasa dirugikan.

Nada kecewa juga datang dari Tamiati Dewi, wartawan senior yang namanya tercantum dalam daftar rekanan RSUD Tamiang Layang. Ia mengaku nilai kontrak yang diumumkan berbeda jauh dari realisasi yang diterimanya.

“Dalam daftar, kontrak kami disebut Rp3,6 juta setahun. Tapi kenyataannya hanya Rp60 ribu per bulan—tidak sampai sejuta setahun. Ini jelas tidak masuk akal,” ungkapnya kesal.

Tamiati juga menyoroti ketimpangan antara media yang mendapat anggaran kecil dan beberapa media lain yang justru dikontrak hingga puluhan juta rupiah.

“Yang besar-besar malah dapat Rp25 juta sampai Rp36 juta setahun. Padahal yang sering buat gaduh juga mereka. Kami bukan iri, tapi ini tidak adil,” ujarnya tajam.

Senada, Ahmad Fahrizali, jurnalis aktif di Barito Timur, menilai sistem langganan dan kerja sama publikasi di RSUD Tamiang Layang terkesan pilih kasih. Ia mengaku pernah mengajukan penawaran kerja sama, namun ditolak dengan alasan tidak ada anggaran.

“Awalnya kami maklum. Tapi setelah mendengar paparan di rapat RSUD, ternyata anggarannya besar dan hanya dimonopoli beberapa media. Ini patut diduga ada permainan,” katanya.

Kontroversi ini kini menjadi sorotan publik dan kalangan media di Barito Timur. Para jurnalis menuntut transparansi pengelolaan anggaran publikasi serta kejelasan mekanisme penunjukan media rekanan RSUD Tamiang Layang.

Jika dugaan penyimpangan benar terjadi, kasus ini akan menjadi cermin buruk tata kelola anggaran publik sekaligus bentuk pelecehan terhadap etika kemitraan antara pers dan lembaga pemerintah.

“Kami hanya ingin keadilan dan keterbukaan. Jangan sampai nama wartawan dijual demi kepentingan segelintir orang,” tutup Mardianto. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *