Depresiasi Rupiah ke Rp17.000: Cermin Kerapuhan Domestik dan Ketidaksiapan Otoritas, Bukan Semata Trump

EKONOMI NASIONAL OPINI PUBLIK

Oleh: Achmad Nur Hidayat
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta

Pradanamedia/Jakarta – Depresiasi tajam Rupiah hingga menembus level Rp17.000 per dolar AS pada April 2025 kembali menunjukkan bahwa masalah utama bukanlah guncangan global semata, melainkan lemahnya ketahanan ekonomi nasional. Klaim Bank Indonesia (BI) bahwa tekanan eksternal adalah penyebab utama pelemahan nilai tukar terasa klise. Negara-negara dengan fundamental ekonomi lebih kuat seperti Vietnam, Filipina, dan India tidak mengalami depresiasi seburuk Indonesia. Maka, masalahnya bukan pada Donald Trump atau perang dagang AS-China saja, melainkan kegagalan otoritas dalam membangun ekonomi domestik yang tangguh dan adaptif.

Intervensi BI: Strategi Reaktif yang Tidak Efektif

Intervensi BI di pasar Non-Deliverable Forward (NDF) pada 7 April 2025, menyusul depresiasi tajam Rupiah, lebih mencerminkan kepanikan daripada strategi. Langkah ini dilakukan setelah libur panjang, saat pasar global tetap aktif dan Rupiah merosot drastis. Padahal, sinyal kenaikan tarif AS-China sudah terlihat sejak awal Maret.

Berbeda dengan Bank Sentral Filipina yang sudah memperkuat cadangan devisa sejak Februari, BI justru terlambat bereaksi. Hasilnya, Peso Filipina hanya terdepresiasi 6,8% sedangkan Rupiah terpuruk hingga 13,2%. Ini mencerminkan ketidaksiapan BI dan lemahnya manajemen risiko menghadapi volatilitas global.

Kerapuhan Domestik: Defisit dan Utang Jadi Bom Waktu

Pelemahan Rupiah bukan semata akibat faktor eksternal, tetapi juga dipicu defisit transaksi berjalan yang melebar (1,18–2,3% dari PDB) dan ketergantungan impor yang kronis, terutama di sektor energi dan manufaktur. Ironisnya, impor minyak mentah meningkat 15% pada 2024, memperbesar tekanan terhadap neraca berjalan.

Selain itu, utang luar negeri Indonesia—baik pemerintah maupun swasta—telah mencapai US$ 427,5 miliar, tertinggi di ASEAN. Setiap depresiasi Rupiah akan secara otomatis memperbesar beban pembayaran utang dalam Rupiah. Ini bukan lagi ancaman teoritis, tetapi kenyataan pahit yang menggerus APBN dan menekan solvabilitas korporasi.

Kebijakan Moneter Kaku dan Kontraproduktif

BI mempertahankan suku bunga acuan di 5,75% sejak November 2024. Tujuannya untuk stabilisasi Rupiah, tetapi kebijakan ini justru memperburuk kondisi domestik. Inflasi memang rendah di 3,1%, namun ini justru cermin dari lesunya konsumsi rumah tangga yang turun ke kisaran 4,2% (dari rata-rata 5,1% pada 2023). Sementara, sektor UMKM dan dunia usaha tertekan bunga pinjaman 9–12%, memukul produktivitas dan menahan investasi.

Kesalahan Strategis: Gagal Membaca Risiko dan Momentum

Kegagalan BI dalam mengantisipasi pelemahan Rupiah selama libur panjang Idulfitri adalah kesalahan strategis. Negara lain seperti Malaysia sudah menyiapkan swap arrangement dalam kerangka ASEAN+3 (CMIM), namun Indonesia belum mengaktifkannya. Selain itu, BI tidak memiliki instrumen seperti Tobin Tax untuk mengendalikan arus modal jangka pendek yang sangat volatil.

Mengapa Negara Tetangga Lebih Tahan?

Vietnam, misalnya, hanya mengalami depresiasi 5,4% karena memiliki basis ekspor manufaktur yang kuat dan diversifikasi sektor ekonomi yang baik. Rasio ekspor-impor mereka mencapai 98%, jauh di atas Indonesia yang hanya 87%. Artinya, Vietnam lebih seimbang dan tidak terlalu bergantung pada impor.

Intervensi Bukan Solusi Jangka Panjang

Langkah intervensi agresif BI di pasar valas dan pembelian SBN hanyalah penunda masalah. Tanpa reformasi struktural, Rupiah akan tetap rentan. BI perlu lebih aktif menuntut perbaikan APBN dan penghentian program populis yang membebani fiskal, seperti IKN dan MBG, serta mengarahkan belanja ke sektor produktif.


Rekomendasi Strategis untuk Pemerintah dan Bank Indonesia

1. Diversifikasi Ekonomi:
Dorong sektor bernilai tambah tinggi, penguatan jasa, dan pengurangan ketergantungan pada komoditas mentah.

2. Penguatan Basis Domestik:
Kembangkan industri substitusi impor dan pastikan neraca perdagangan lebih seimbang.

3. Optimalisasi Cadangan Devisa:
Alihkan sebagian cadangan ke instrumen likuid berimbal hasil lebih baik tanpa mengorbankan keamanan.

4. Pengawasan ULN yang Ketat:
Batasi ULN korporasi non-pengekspor untuk menghindari risiko gagal bayar saat Rupiah melemah.

5. Perluas Jaring Pengaman Devisa:
Aktifkan perjanjian swap bilateral, termasuk Chiang Mai Initiative, sebagai buffer murah dan efektif.


Kesimpulan: Waktunya Introspeksi, Bukan Kambing Hitam

Menjadikan kebijakan Donald Trump atau gejolak global sebagai kambing hitam hanyalah pengalihan dari akar masalah yang sebenarnya: fondasi ekonomi Indonesia yang belum kokoh. Seberapa kuat sebuah negara menghadapi badai global sangat bergantung pada kualitas struktur internalnya.

Pelemahan Rupiah yang terus berulang menunjukkan bahwa Indonesia butuh reformasi struktural, bukan sekadar intervensi sesaat. Pemerintah dan Bank Indonesia harus bergerak cepat dan cerdas, bukan hanya reaktif. (KN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *