**GLOBAL/ PARIS – Pemerintah Prancis tengah merancang rancangan undang-undang (RUU) kontroversial yang berpotensi melarang penggunaan hijab dalam seluruh kompetisi olahraga domestik, baik di level amatir maupun profesional. Upaya ini langsung memicu gelombang penolakan dari para atlet Muslim, yang merasa hak mereka untuk berpartisipasi dalam olahraga justru makin dibatasi atas nama sekularisme.
Salah satu suara yang paling vokal datang dari Sylvie Eberena (44), seorang atlet angkat besi yang telah berhijab sejak memeluk Islam di usia 19 tahun. Ia pernah menjadi juara nasional kategori amatir tahun lalu, dan kini merasa langkah pemerintah itu seperti memaksa dirinya untuk memilih antara keyakinan dan kariernya di dunia olahraga.
“Rasanya seperti kebebasan kami terus dikikis sedikit demi sedikit,” ujar Eberena. “Padahal kami hanya ingin berolahraga.”

Senada dengan itu, Samia Bouljedri, pesepak bola berhijab, juga turut menyampaikan kekecewaannya. Ia mengungkapkan bahwa klubnya sempat beberapa kali didenda karena dirinya tampil mengenakan hijab saat bertanding. Pada akhirnya, Bouljedri dihadapkan pada dua pilihan yang sulit: melepas hijab atau hengkang dari tim. Ia pun memutuskan untuk berhenti bermain.
“Mereka menghancurkan kebahagiaanku begitu saja, hanya karena selembar kain,” tuturnya pilu.
RUU yang Dinilai Diskriminatif
Larangan penggunaan simbol agama di ruang publik bukanlah hal baru di Prancis. Negeri yang menjunjung tinggi nilai sekularisme (laïcité) ini sejak lama telah menerapkan aturan ketat bagi pegawai negeri, guru, siswa, dan atlet yang mewakili Prancis di ajang internasional. Simbol seperti salib Kristen, kippah Yahudi, turban Sikh, dan hijab Muslim dilarang dikenakan dalam konteks tersebut.
Namun, selama ini kompetisi olahraga domestik memiliki fleksibilitas tersendiri karena peraturan diserahkan kepada masing-masing federasi olahraga. RUU baru yang kini tengah digodok pemerintah justru ingin menyatukan semua aturan tersebut dalam satu kebijakan nasional—yakni pelarangan total terhadap semua simbol keagamaan, termasuk hijab, di setiap level kompetisi.
Menurut para pendukung kebijakan ini, aturan tersebut penting demi menjaga kesatuan regulasi, memperkuat prinsip sekularisme, serta mencegah potensi ekstremisme. Menteri Kehakiman Gerald Darmanin bahkan menyebut bahwa kegagalan membela nilai sekularisme bisa dimanfaatkan oleh kelompok sayap kanan.
Peringatan dari PBB dan Menteri Olahraga
Namun, banyak pihak menilai kebijakan ini justru kontraproduktif. Kritikus menyebut larangan hijab bagi atlet sebagai bentuk diskriminasi yang tidak proporsional dan melemahkan semangat inklusivitas dalam olahraga. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam langkah tersebut dan mendesak Prancis agar mempertimbangkan kembali kebijakan yang bisa merugikan perempuan Muslim.
Menteri Olahraga Prancis, Marie Barsacq, juga telah mengingatkan publik agar tidak menyamakan penggunaan hijab dengan radikalisasi dalam olahraga. Menurutnya, penting untuk memisahkan identitas keagamaan individu dari isu ekstremisme, terlebih dalam konteks olahraga yang seharusnya menjadi ruang aman dan terbuka bagi semua kalangan.
Menuju Parlemen
Setelah sebelumnya disetujui oleh Senat pada Februari lalu, RUU ini akan melanjutkan proses pembahasannya di Majelis Rendah Parlemen Prancis dalam waktu dekat. Jika disahkan, aturan ini akan secara resmi membatasi ruang gerak atlet perempuan Muslim dalam kompetisi olahraga nasional.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran luas bahwa dunia olahraga Prancis bisa kehilangan banyak talenta, hanya karena mereka memilih untuk tidak melepas identitas dan keyakinan mereka. (RH)
