Cegah Ledakan Perceraian, Menag Usulkan Revisi UU Perkawinan dan Dorong UU Ketahanan Rumah Tangga

NASIONAL PEMERINTAHAN

**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Maraknya kasus perceraian di Indonesia mendorong Menteri Agama Nasaruddin Umar untuk mengusulkan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Usulan ini muncul sebagai bentuk keprihatinan atas rapuhnya ketahanan rumah tangga di tengah masyarakat.

Menurut Nasaruddin, sudah saatnya UU Perkawinan tidak hanya mengatur legalitas pernikahan, tetapi juga memuat bab khusus mengenai pelestarian perkawinan yang berorientasi pada keberlangsungan dan keharmonisan hubungan suami istri.

“Sudah saatnya UU Perkawinan menegaskan pentingnya pelestarian perkawinan,” kata Nasaruddin dalam pernyataan resmi, Rabu (23/4).

Meskipun belum dijelaskan secara rinci isi dari bab pelestarian tersebut, Menag menyebut gagasan itu sebagai langkah preventif yang bisa memperkuat institusi keluarga. Bahkan, ia menyatakan kebutuhan akan hadirnya UU baru tentang ketahanan rumah tangga, yang secara komprehensif memberikan perlindungan kepada keluarga, terutama anak dan istri.

“Negara tidak cukup hanya mengatur legalitas pernikahan, tetapi juga perlu hadir dalam menjaga keutuhannya,” ujarnya.

Nasaruddin juga menekankan bahwa perceraian sering kali berdampak luas, khususnya dalam aspek sosial dan ekonomi. Anak dan perempuan disebut sebagai pihak yang paling rentan terdampak secara langsung dari pecahnya rumah tangga.

Sebagai bagian dari upaya konkret, Kementerian Agama melalui Badan Penasihatan, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) akan menerapkan 11 strategi mediasi untuk menekan angka perceraian sekaligus memperkuat nilai-nilai pernikahan. Strategi ini tidak hanya menyasar pasangan yang sudah menikah, tetapi juga calon pengantin dan individu yang masih dalam tahap pencarian pasangan.

Berikut 11 strategi mediasi keluarga yang diusulkan Menag:

  1. Memperluas peran mediasi untuk pasangan pra-nikah dan usia matang yang belum menikah.
  2. Proaktif mendorong pasangan muda untuk menikah.
  3. Bertindak sebagai perantara atau “makcomblang”.
  4. Melakukan mediasi pascaperceraian untuk mencegah anak menjadi korban.
  5. Menjadi penengah konflik antara menantu dan mertua.
  6. Bekerja sama dengan peradilan agama agar tidak gegabah memutus perkara cerai.
  7. Memediasi pasangan nikah siri agar melakukan isbat nikah.
  8. Menyelesaikan hambatan administratif dalam proses pernikahan di KUA.
  9. Memberikan mediasi kepada individu yang berisiko melakukan perselingkuhan.
  10. Menginisiasi program nikah massal agar biaya tidak menjadi penghalang.
  11. Membangun sinergi dengan lembaga pengelola gizi dan pendidikan anak untuk menjamin kesejahteraan keluarga.

Dengan pendekatan yang lebih holistik dan berkelanjutan, Menag berharap negara tidak lagi sekadar menjadi pencatat status pernikahan, tetapi juga hadir sebagai pelindung dan penguat institusi keluarga dalam jangka panjang. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *