“Adat Bukan Kejahatan”: Massa Tuntut Keadilan untuk Kades Tempayung di Palangka Raya

HUKAM LOKAL

**PRADANAMEDIA/ PALANGKA RAYA – Aksi solidaritas digelar oleh sekelompok warga di depan gedung Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Selasa (6/5), sebagai bentuk dukungan terhadap Kepala Desa Tempayung, Syahyunie, yang baru-baru ini divonis enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun.

Aksi tersebut dilakukan oleh empat orang dari Koalisi Keadilan untuk Tempayung. Mereka membawa spanduk bertuliskan tuntutan pembebasan Syahyunie dan seruan bahwa tindakan adat bukanlah tindak pidana.

Syahyunie sebelumnya didakwa terlibat dalam aksi pemortalan lahan di area konsesi PT Sungai Rangit, tepatnya di Kebun Rauk Naga Estate Divisi 3 dan 4, yang berada di wilayah Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat. Atas tuduhan tersebut, majelis hakim PN Pangkalan Bun menjatuhkan vonis enam bulan penjara, yang kini tengah diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Palangka Raya oleh tim kuasa hukum.

Dalam orasinya, juru bicara aksi, Agung, menyayangkan vonis yang dijatuhkan hakim, karena dinilai tidak mempertimbangkan pembelaan yang diajukan oleh pihak kuasa hukum. Ia menuding putusan tersebut sepenuhnya mengikuti dakwaan jaksa penuntut umum tanpa menggali konteks sosial dan kearifan lokal yang melatarbelakangi peristiwa pemortalan lahan.

“Hari ini, negara masih belum mengakui masyarakat adat secara utuh,” ujar Agung. Ia juga menegaskan bahwa aksi tersebut digelar atas permintaan masyarakat adat Tempayung yang merasa pemimpinnya dikriminalisasi karena memperjuangkan hak ulayat.

Aksi ini diterima secara langsung oleh perwakilan Pengadilan Tinggi Palangka Raya, Agung Iswanto, yang menyatakan bahwa aspirasi massa akan disampaikan kepada pimpinan dan menjadi bagian dari perhatian dalam proses hukum banding yang sedang berjalan.

Peristiwa ini kembali menyorot sengkarut relasi antara masyarakat adat, korporasi, dan penegakan hukum di Kalimantan Tengah. Banyak pihak menilai perlunya kebijakan yang lebih akomodatif terhadap hak-hak masyarakat adat agar konflik serupa tidak terus berulang. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *