Wamendagri Bima Arya: Jangan Jadikan Biaya Politik Mahal Alasan Kembali ke Pilkada DPRD

NASIONAL PEMERINTAHAN

**PRADANAMEDIA / JAKARTA – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya menegaskan bahwa mahalnya biaya politik tidak boleh dijadikan alasan untuk kembali mengusulkan pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Ia menilai, persoalan tersebut tidak bisa disederhanakan karena memiliki banyak dimensi yang kompleks.

“Jangan sampai kita menyederhanakan persoalan ini. Hanya karena biaya politik tinggi, lalu solusinya kembali ke DPRD. Politik mahal itu persoalannya banyak, tidak sesederhana itu,” ujar Bima dalam diskusi daring bertajuk Ngoprek: Tindak Lanjut Putusan MK Terkait Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPRD, Minggu (27/7).

Menurutnya, kondisi ini justru harus dijadikan momentum untuk memperkuat institusi partai politik dan mereformasi sistem pendanaan politik secara komprehensif. Salah satu upaya konkret adalah dengan memperbaiki skema bantuan keuangan bagi partai politik agar lebih akuntabel dan berdampak langsung pada penguatan fungsi partai.

“Mungkin ini karena lemahnya kaderisasi dan advokasi di tubuh partai. Maka perlu ada ikhtiar agar partai menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi, baik fungsi advokasi, integrasi, hingga kaderisasi,” kata mantan Wali Kota Bogor tersebut.

Ia menyambut baik munculnya wacana penguatan insentif bantuan politik sebagai salah satu solusi untuk menekan biaya politik yang tinggi. Pemerintah, kata dia, juga sudah mulai membahas berbagai opsi kebijakan pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersama DPR dan sejumlah kementerian.

Namun demikian, Bima mengingatkan agar proses revisi undang-undang pemilu tidak terjebak pada kepentingan jangka pendek maupun kepentingan partisan semata. “Mari kita pandang ini dalam bingkai besar reformasi sistem politik nasional, bukan sekadar strategi politik sesaat,” tegasnya.

Dalam kesempatan itu, Bima juga menyoroti beragam reaksi atas putusan MK—dari kalangan anggota DPRD yang gembira karena masa jabatan berpotensi diperpanjang, hingga kepala daerah yang kecewa karena masa jabatannya bisa dipotong dan digantikan oleh penjabat (Pj) dari pusat. Ia mengajak agar momen ini tidak dihabiskan hanya pada tarik-menarik kepentingan, melainkan untuk membangun demokrasi yang lebih kuat dan berkelanjutan.

Sebelumnya, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengusulkan agar pilkada langsung dievaluasi dan kepala daerah cukup ditunjuk oleh pemerintah pusat atau dipilih oleh DPRD tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini ia sampaikan dalam pidatonya pada perayaan Hari Lahir (Harlah) ke-27 PKB, Rabu (23/7) malam.

Cak Imin beralasan, penyederhanaan proses pemilihan kepala daerah diperlukan untuk mendorong efektivitas dan akselerasi pembangunan nasional. Usulan tersebut bahkan telah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto meskipun menuai banyak penolakan dari publik.

“Tujuannya satu, untuk mempercepat pembangunan dan menciptakan iklim yang lebih kondusif, tanpa harus melalui tahapan demokrasi yang berliku,” kata Cak Imin, yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat.

Wacana ini memicu perdebatan publik tentang arah demokrasi lokal di Indonesia. Di tengah perbedaan pandangan itu, Bima Arya mengajak semua pihak agar tidak melupakan esensi demokrasi—yakni keterlibatan rakyat secara langsung dalam memilih pemimpinnya. Ia menekankan bahwa tantangan biaya politik harus dijawab dengan pembenahan sistemik, bukan jalan pintas.

“Demokrasi butuh perbaikan, bukan pemangkasan. Yang mahal bukan demokrasinya, tapi sistem yang belum sepenuhnya sehat,” tutup Bima. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *