**PRADANAMEDIA/ JAKARTA — Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia menegaskan bahwa pihaknya telah menjalankan tugas pengawasan secara maksimal dalam seluruh tahapan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Kabupaten Barito Utara. Pernyataan ini disampaikan Anggota Bawaslu RI, Puadi, sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjatuhkan sanksi diskualifikasi terhadap seluruh pasangan calon peserta Pilkada setempat karena terbukti melakukan praktik politik uang.
“Kami pastikan seluruh jajaran Bawaslu, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten, telah bekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dalam mengawal proses Pilkada Barito Utara,” ujar Puadi, Kamis (15/5).

Ia menjelaskan bahwa dugaan praktik politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) telah diproses melalui mekanisme penanganan pelanggaran yang diatur dalam Peraturan Bawaslu. Namun, ia tidak menampik adanya pendekatan dan temuan hukum baru yang digunakan oleh MK dalam menilai tingkat kemasifan pelanggaran.
“Kalaupun terdapat perbedaan dalam menilai unsur masif antara Bawaslu dan Mahkamah, hal itu harus dipahami sebagai ruang interpretasi dalam praktik hukum, bukan bentuk pembiaran,” jelas Puadi.
Meski begitu, Bawaslu tetap menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Puadi menegaskan bahwa keputusan tersebut menjadi bagian penting dari sistem konstitusional untuk menjaga integritas demokrasi elektoral di Indonesia.
“Putusan ini akan kami jadikan pijakan untuk melakukan evaluasi dan penguatan pengawasan dalam pemilu ke depan,” kata dia.
Putusan Tegas MK: Semua Paslon Didiskualifikasi
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk mendiskualifikasi dua pasangan calon dalam Pilkada Barito Utara, yaitu pasangan nomor urut 1 Gogo Purman Jaya–Hendro Nakalelo dan pasangan nomor urut 2 Akhmad Gunadi Nadalsyah–Sastra Jaya.
Dalam persidangan, MK menemukan bukti kuat terjadinya pembelian suara dalam jumlah besar. Salah satu saksi, Santi Parida Dewi, bahkan mengaku menerima total Rp 64 juta untuk satu keluarga. Untuk memenangkan paslon Akhmad Gunadi–Sastra Jaya, ditemukan adanya praktik serangan fajar dengan nilai hingga Rp 16 juta per pemilih. Sedangkan untuk paslon Gogo–Hendro, nilai pembelian suara mencapai Rp 6,5 juta per pemilih, disertai janji diberangkatkan umrah jika menang.
Praktik politik uang tersebut terjadi di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS), di antaranya TPS 01 Kelurahan Melayu, Kecamatan Teweh Tengah, dan TPS 04 Desa Malawaken, Kecamatan Teweh Baru. MK menilai praktik ini sangat merusak prinsip pemilu yang jujur dan berintegritas sebagaimana dijamin dalam Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945.
“Tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk menyatakan diskualifikasi terhadap kedua pasangan calon. Politik uang yang terjadi benar-benar mencederai demokrasi,” ujar Hakim Konstitusi Guntur Hamzah dalam sidang pembacaan putusan.
Catatan Kritis dan Evaluasi Demokrasi Lokal
Putusan ini menjadi pukulan keras bagi kualitas demokrasi lokal, terutama dalam konteks pengawasan dan penegakan hukum pemilu. Di sisi lain, publik juga menuntut evaluasi serius terhadap peran lembaga pengawas, seperti Bawaslu, agar praktik serupa tidak terus terulang di masa mendatang.
Ke depan, penguatan fungsi pengawasan dan pemberdayaan pemilih harus menjadi agenda utama untuk memastikan bahwa kontestasi elektoral tidak lagi dirusak oleh praktik jual beli suara. (RH)
