Tanggal 3 Maret, tepat 101 tahun yang lalu, Kekhalifahan Turki Utsmani resmi berakhir. Indonesia, yang berada di pinggiran kekhalifahan pada masa lalu, baru berdiri 21 tahun setelahnya sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saat itu, Turki telah menjadi negara sekuler yang bersekutu dengan Inggris, sehingga Indonesia secara formal maupun informal tidak memiliki hubungan dengan kekhalifahan Islam.

Indonesia adalah negara yang otentik, lahir dari perjuangan bangsa sendiri tanpa keterikatan langsung dengan kekhalifahan sebelumnya. Namun, jejak kekhalifahan masih dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan di Nusantara, seperti dakwah, budaya, dan ekonomi. Sementara itu, bukti sejarah menunjukkan bahwa secara politik dan militer, Nusantara bukan bagian dari kekhalifahan.
Kaum radikal kerap menyebarkan dua video yang menggambarkan hubungan politik antara kesultanan Nusantara dan Kekhalifahan Turki Utsmani. Pertama, video yang menunjukkan permintaan Kesultanan Aceh untuk bergabung dengan Kekhalifahan Turki Utsmani kepada Sultan Abdul Hamid II. Namun, permintaan tersebut ditolak karena jarak yang terlalu jauh dan ketidakmampuan kekhalifahan untuk melindungi Aceh. Kedua, video yang menampilkan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai wakil resmi kekhalifahan di Jawa. Namun, faktanya, setelah proklamasi kemerdekaan, Sultan Hamengkubuwono IX justru memaklumatkan bergabungnya Yogyakarta ke dalam NKRI pada 5 September 1945.
Jejak kekhalifahan di Nusantara justru memperkuat legitimasi NKRI sebagai negara yang sah secara syar’i. Kesultanan Aceh dan Yogyakarta, dua kerajaan Islam yang memiliki hubungan dengan kekhalifahan, memilih menjadi bagian dari NKRI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa NKRI adalah bentuk kekhalifahan pasca berakhirnya Turki Utsmani, meskipun hal ini tertutupi oleh paradigma lama tentang kekhalifahan yang masih dianut oleh kelompok radikal.
Paradigma lama tersebut menganggap kekhalifahan sebagai sistem tunggal yang mencakup seluruh dunia Islam, sebagaimana dipahami oleh kelompok transnasional seperti HTI, ISIS, Al-Qaeda, dan Ikhwanul Muslimin. Mereka berpegang pada gagasan “satu umat, satu negara” dengan seorang khalifah sebagai pemimpin tunggal. Namun, konsep ini tidak mempertimbangkan realitas batas negara modern dan lebih merupakan interpretasi politis daripada tuntunan mutlak agama.
Pemahaman lama ini perlu diperbarui agar umat Islam dapat menempatkan NKRI sebagai bentuk pemerintahan yang sah dalam konteks Islam. Negara ini telah mewadahi aspirasi umat Muslim, menghormati nilai-nilai agama, serta menjunjung tinggi keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Oleh: Ayik Heriansyah
Pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jabar
