
Blitar – Di tengah maraknya pembahasan di media sosial tentang kasus Gus Miftah Maulana yang sempat viral akibat candaan kepada seorang pedagang es teh manis bernama Sunhaji, hingga membuat Sunhaji mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Staf Khusus Utusan Presiden, muncul peristiwa menarik lainnya yang melibatkan Gus Iqdam.
Pada sebuah acara pengajian di Surabaya, Jawa Timur, Gus Iqdam berbincang dengan seorang penjual kopi bernama Yosep, yang berasal dari Flores dan beragama Katolik. Dalam percakapan tersebut, Gus Iqdam dengan ramah bertanya tentang latar belakang Yosep, sambil mendoakan keberhasilan Bank Indonesia (BI), khususnya wilayah Jawa Timur. Yosep pun menyampaikan apresiasi terhadap acara tersebut, menyebut tausiah yang disampaikan menarik baginya sebagai seorang Katolik. Gus Iqdam kemudian bercanda dengan Yosep dan memberikan tiga amplop berisi uang, sekaligus membeli seluruh dagangannya untuk dibagikan gratis kepada jamaah. Tindakan ini menuai sorak sorai dan dianggap sebagai wujud toleransi antarumat beragama.
Gus Iqdam dikenal sebagai pendakwah muda Nahdlatul Ulama (NU) yang populer berkat gaya ceramahnya yang santai dan relevan dengan generasi muda. Ia adalah keturunan keluarga kiai besar di Blitar, putra dari pasangan KH. Kholid dan Nyai Lam’atul Walidah, serta cucu dari KH. Zubaidi Abdul Ghofur, pendiri Pondok Pesantren Mambaul Hikam. Sejak kecil, ia akrab dengan dunia pesantren dan kini mengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hikam II di Blitar, selain mendirikan Majelis Ta’lim Sabilu Taubah yang memiliki ribuan jamaah.
Namun, tidak semua aksi Gus Iqdam mendapat apresiasi. Sebelumnya, ia menuai kontroversi karena menegur keras seorang penjual minuman yang dianggap mengganggu jalannya pengajian. Dalam video yang viral, Gus Iqdam menawarkan untuk membeli semua dagangan penjual tersebut dengan harga Rp500 ribu, sambil meminta agar ia tidak lagi berjualan di acara serupa. Teguran yang disampaikan dalam bahasa daerah ini memicu beragam reaksi di kalangan netizen. Sebagian mendukung langkah tegasnya demi menjaga suasana ibadah, namun ada juga yang menilai sikapnya terlalu kasar dan tidak mencerminkan akhlak seorang ulama. Perbandingan pun muncul antara Gus Iqdam dan ulama lain seperti Gus Miftah, dengan kritik bahwa hanya tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, atau Gus Baha yang pantas menyandang gelar “Gus” karena keilmuan dan teladan mereka. (KN)
