PRADANAMEDIA / JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) satu suara dalam meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Permintaan itu disampaikan dalam sidang pengujian undang-undang (judicial review) dengan nomor perkara 68, 82, dan 92/PUU-XXIII/2025, yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Kamis (9/10).
Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, mewakili lembaganya, menyatakan DPR menolak seluruh permohonan para pemohon.
“Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya, atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima,” kata Utut dalam sidang.

Salah satu pasal yang menjadi pokok gugatan adalah Pasal 53 ayat (4) yang mengatur perpanjangan masa dinas perwira tinggi TNI oleh Presiden. DPR berpendapat, ketentuan tersebut sudah sesuai dengan Putusan MK Nomor 62/PUU-XIX/2021, yang menegaskan bahwa batas usia pensiun bagi perwira tinggi TNI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang.
“Pasal ini sudah memberikan batasan yang jelas bagi Presiden apabila memandang masih memerlukan kemampuan perwira tinggi bintang empat dalam mendukung pelaksanaan pemerintahan,” ujar Utut.
Menurutnya, ketentuan tersebut justru memberikan kepastian hukum dan mekanisme pengawasan yang proporsional, bukan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Pemerintah: Tidak Ada Kaitan dengan Aksi Kekerasan
Sikap senada disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, mewakili pemerintah.
Eddy membantah dalil dari pemohon perkara 92, yang mengaitkan ketentuan Pasal 53 ayat (4) UU TNI dengan aksi kekerasan yang dialami warga saat menolak revisi undang-undang tersebut.
Menurutnya, dalil itu tidak memiliki relevansi dan tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat dengan pasal yang digugat.
“Ketentuan a quo hanya mengatur perpanjangan usia pensiun untuk perwira tinggi bintang empat oleh Presiden, bukan mengatur tindakan represif yang dilakukan prajurit TNI,” tegas Eddy.
Atas dasar itu, pemerintah meminta MK menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan mereka patut dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).
Latar Belakang Perkara: Dugaan Penyalahgunaan dan Dwi Fungsi TNI
Sidang uji materi ini menyoal sejumlah pasal dalam UU TNI yang dinilai pemohon berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan kembalinya peran ganda (dwi fungsi) militer di ranah sipil.
- Perkara 68 menggugat Pasal 47 ayat (2) yang dianggap memungkinkan prajurit TNI menduduki jabatan strategis di pemerintahan, sehingga berpotensi mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil.
- Perkara 82 menyoal Pasal 7 ayat (2) angka 9 dan 15, serta Pasal 47 ayat (1), yang menurut pemohon dapat menghidupkan kembali dwi fungsi TNI. Namun, permohonan ini telah dicabut oleh para pemohon.
- Perkara 92 mempersoalkan Pasal 53 ayat (4) karena dianggap memberi kewenangan sepihak kepada Presiden dalam memperpanjang masa dinas perwira tinggi tanpa mekanisme kontrol legislatif.
Para pemohon menilai, aturan itu melanggar prinsip due process of law dan asas transparansi pemerintahan, sebab keputusan perpanjangan jabatan tidak melibatkan pengawasan DPR maupun mekanisme akuntabilitas publik.
Perdebatan seputar revisi UU TNI menjadi penting di tengah kekhawatiran publik akan menguatnya kembali dominasi militer di ruang sipil. Sejumlah pakar hukum tata negara menilai MK memiliki peran strategis untuk memastikan keseimbangan antara kewenangan eksekutif dan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi Indonesia.
Apabila MK menolak seluruh permohonan sebagaimana diminta pemerintah dan DPR, maka kebijakan Presiden dalam memperpanjang masa jabatan perwira tinggi TNI akan tetap berlaku tanpa perubahan, selama dianggap berada dalam koridor open legal policy.
Hingga kini, MK belum menjadwalkan pembacaan putusan untuk ketiga perkara tersebut. (RH)

