PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menyatakan dukungannya terhadap usulan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, terkait pembentukan Undang-Undang (UU) Kebebasan Beragama. Menurut Yenny, keyakinan beragama merupakan hak asasi individu yang tidak bisa diatur atau dibatasi oleh manusia, bahkan oleh negara.
“Kalau saya setuju, karena yang namanya keyakinan beragama itu tidak bisa diatur oleh manusia, tapi merupakan hidayah dari Yang Maha Kuasa,” ujar Yenny di Kantor Wahid Foundation, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (14/3).
Sebagai putri Presiden keempat Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid, Yenny menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mempercayai dan menganut keyakinannya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain.

Tantangan dalam Implementasi Kebebasan Beragama
Namun, Yenny juga menggarisbawahi bahwa tantangan terbesar dari kebebasan beragama terletak pada bagaimana negara dapat memfasilitasi berbagai keyakinan yang ada. Hingga saat ini, Kementerian Agama masih berfokus pada enam agama yang diakui oleh negara. Jika UU Kebebasan Beragama disahkan, akan ada konsekuensi birokratis terkait pembinaan dan pelayanan terhadap berbagai kepercayaan di luar enam agama tersebut.
“Esensinya, semua orang berhak mendapatkan hak yang sama, diakui haknya untuk memeluk agama dan keyakinan yang diyakini. Itu saya sangat setuju,” kata Yenny.
Usulan Menteri HAM: Mengakomodasi Keyakinan di Luar Agama Resmi
Sebelumnya, Menteri HAM Natalius Pigai mengusulkan adanya UU Kebebasan Beragama yang memungkinkan warga negara untuk memeluk kepercayaan di luar enam agama yang telah diakui negara.
“Misalnya mereka yang percaya di luar agama resmi. Kami menginginkan agar ke depan ada undang-undang kebebasan beragama. Ini adalah sikap resmi kementerian,” ujar Pigai di Kantor Kementerian HAM, Kuningan, Jakarta, Selasa (11/3).
Menurut Pigai, UU Kebebasan Beragama berbeda dengan UU Perlindungan Umat Beragama yang dinilainya masih membatasi warga negara dalam memilih keyakinan.
“Negara tidak boleh mengakui atau membiarkan adanya ketidakadilan dalam beragama. Oleh karena itu, perlu ada undang-undang yang melindungi kebebasan ini,” tegas Pigai.
Ia juga menekankan bahwa usulan ini masih dalam tahap wacana dan terbuka untuk didiskusikan lebih lanjut.
“Silakan jika ada yang ingin protes atau mendukung. Ini adalah bagian dari demokrasi,” tambahnya.
Diskusi Publik dan Tantangan Regulasi
Wacana pembentukan UU Kebebasan Beragama telah memicu pro dan kontra di berbagai kalangan, termasuk lembaga negara, akademisi, serta organisasi keagamaan. Beberapa pihak menilai regulasi ini penting untuk menjamin hak beragama setiap individu tanpa diskriminasi, sementara yang lain mengkhawatirkan dampaknya terhadap tatanan sosial dan administrasi negara.
Sejauh ini, Bawaslu dan berbagai lembaga pemantau HAM masih mencatat adanya kasus pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Laporan Imparsial mencatat 23 pelanggaran kebebasan beragama sepanjang tahun 2024, yang menunjukkan urgensi perlindungan lebih lanjut bagi hak beragama di Indonesia.
Dengan adanya wacana ini, diharapkan diskusi lebih lanjut dapat melahirkan kebijakan yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kebebasan beragama. (RH)
