**PRADANAMEDIA/ PALANGKA RAYA – Sebuah video parodi yang menampilkan sosok Gubernur Kalimantan Tengah tengah menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Meskipun kreator konten tersebut telah mengunggah permintaan maaf secara terbuka, diskursus publik tetap berkembang, terutama menyangkut batas antara kebebasan berekspresi dan aturan hukum yang berlaku.
Menanggapi fenomena ini, Direktur LBH Genta Keadilan Palangka Raya, Parlin B. Hutabarat, memberikan penilaian dari sudut pandang hukum. Ia menyebutkan bahwa video parodi tersebut mengandung unsur yang perlu dikaji lebih lanjut, khususnya karena melibatkan simbol negara dan menyasar pejabat publik.

“Substansi parodi itu secara langsung menyorot subjek hukum, yakni Gubernur Kalimantan Tengah, karena dalam video itu tampak jelas atribut kenegaraan,” kata Parlin kepada awak media, Rabu (23/4).
Parlin menjelaskan bahwa video tersebut berasal dari tayangan media resmi yang telah dimodifikasi tanpa izin, sebuah tindakan yang menurutnya berpotensi melanggar hukum, tergantung pada kontennya dan dampak yang ditimbulkan.
“Kalau tayangan dari media resmi dimodifikasi tanpa hak, maka itu sudah menjadi persoalan. Tinggal dilihat, apakah modifikasi tersebut merugikan pribadi yang diparodikan atau berdampak buruk bagi kepentingan umum,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa konten semacam ini bisa melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya jika mengandung unsur provokasi, kebencian, atau permusuhan antar kelompok masyarakat.
“Jika informasi itu menyulut kebencian atau permusuhan, maka bisa dikategorikan sebagai delik ITE. Apalagi jika penyebarannya dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hak atau bukan bagian dari media resmi,” tegas Parlin.
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa konten parodi ini juga berpotensi masuk ke ranah hukum pidana berdasarkan KUHP apabila dianggap menyerang kehormatan pribadi seseorang.
“Dalam konteks KUHP, ini bisa dikaitkan dengan penyerangan terhadap kehormatan pribadi. Namun proses hukum hanya bisa berjalan jika individu yang merasa dirugikan, dalam hal ini Gubernur Agustiar Sabran, menyampaikan keberatan secara resmi,” ujarnya.
Parlin menambahkan bahwa seharusnya video tersebut disertai dengan penjelasan bahwa konten yang disajikan adalah parodi, bukan hanya melalui caption, tetapi juga secara eksplisit di dalam videonya. Hal ini penting untuk mencegah kesalahpahaman publik yang bisa menimbulkan persepsi keliru.
“Kalau memang tujuannya hiburan, idealnya diberi keterangan seperti ‘parodi’ atau ‘tidak bermaksud menyinggung’, agar penonton tahu konteksnya. Dalam kasus ini, keterangan tersebut tidak ada dalam video asli,” kata Parlin.
Sebagai penutup, Parlin berharap kejadian ini menjadi bahan pembelajaran penting bagi masyarakat digital, agar lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam memproduksi serta menyebarkan konten—terlebih jika menyangkut pejabat publik atau simbol negara. (RH)
