UU AI Jepang: Menjaga Inovasi, Mengelola Risiko, dan Pelajaran Penting untuk Indonesia

INTERNASIONAL TECHNO

**PRADANAMEDIA/ TOKYO – Jepang resmi mengesahkan Undang-Undang tentang Promosi Penelitian, Pengembangan, serta Pemanfaatan Teknologi Terkait Kecerdasan Buatan (AI). Langkah ini menunjukkan strategi cermat Jepang dalam mendorong inovasi teknologi sekaligus mengantisipasi risiko yang mungkin ditimbulkan AI terhadap masyarakat, hukum, dan nilai-nilai sosial.

Dilansir dari Japan Times (28/5), parlemen Jepang menyetujui undang-undang ini dengan suara mayoritas, didukung tidak hanya oleh Partai Demokrat Liberal yang berkuasa, tetapi juga oleh partai-partai oposisi. Undang-undang ini menandai pendekatan khas Jepang: progresif dalam inovasi, namun penuh kehati-hatian dalam pengaturan.

Tanpa Sanksi, Tapi Penuh Arahan

Menariknya, UU ini tidak memuat ketentuan sanksi pidana maupun administratif. Pemerintah Jepang secara sadar merancang kerangka hukum yang tidak represif, demi menjaga ekosistem inovasi tetap berkembang. Alih-alih menghukum, UU ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengeluarkan peringatan dan panduan kepada pelaku usaha yang terbukti menyalahgunakan teknologi AI.

Namun demikian, ini bukan berarti kejahatan yang menggunakan AI akan dibiarkan. Hukum positif Jepang seperti KUHP, UU Hak Cipta, dan UU Pelindungan Data Pribadi tetap diberlakukan untuk menindak pelanggaran, termasuk penyalahgunaan data pribadi, penyebaran informasi palsu, atau pelanggaran kekayaan intelektual.

UU ini juga memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengungkapkan nama pelaku bisnis jika ditemukan pelanggaran serius yang membahayakan masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan prinsip hukum Jepang yang menjadikan sanksi sebagai ultimum remedium, bukan langkah pertama.

Merespons Ancaman Deepfake dan Disinformasi

UU AI Jepang memberikan perhatian khusus terhadap isu deepfake—gambar, suara, atau video palsu yang sangat meyakinkan. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan pengawasan terhadap penyalahgunaan AI di bidang pornografi dan informasi keliru, terutama yang merusak reputasi atau membahayakan publik.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah akan membentuk Tim Strategis AI yang terdiri dari seluruh menteri kabinet. Tim ini akan menyusun kebijakan dasar nasional tentang AI, termasuk penguatan daya saing teknologi Jepang di panggung global.

Pendekatan Pragmatis, Tidak Seketat Eropa

Dikutip dari IAPP (International Association of Privacy Professionals, 4/6), Jepang mengambil jalur berbeda dari Uni Eropa. Alih-alih pendekatan regulasi ketat seperti EU AI Act, Jepang memilih jalur kolaboratif dan fleksibel—lebih mirip dengan pendekatan Inggris.

Jepang menekankan transparansi dalam pengembangan dan penggunaan AI, sembari menghindari ketentuan yang dapat menghambat inovasi. Pendekatan ini juga membuka ruang untuk konsensus sosial, seperti dalam persoalan hak cipta untuk data pelatihan AI. Regulator didorong menyelesaikan konflik antara kreator dan perusahaan melalui mekanisme lisensi, bukan litigasi.

Pelajaran Penting bagi Indonesia

Perkembangan ini menjadi cerminan bahwa negara maju berlomba menciptakan ekosistem AI yang inovatif, namun tetap bertanggung jawab. Indonesia dapat mengambil tiga pelajaran penting dari strategi Jepang:

  1. Regulasi Bertahap dan Fleksibel
    Indonesia sebaiknya tidak terburu-buru memberlakukan sanksi pidana dalam regulasi AI. Pendekatan awal yang berbasis panduan, kode etik, dan prinsip kehati-hatian akan lebih efektif untuk mendorong inovasi sambil menjaga akuntabilitas.
  2. Penguatan dan Harmonisasi UU yang Ada
    UU Perlindungan Data Pribadi, UU ITE, UU Hak Cipta, UU Pornografi, dan KUHP harus diperkuat agar relevan dengan konteks penggunaan AI. Pemerintah juga perlu merampungkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai langkah antisipatif terhadap potensi penyalahgunaan teknologi.
  3. Keterlibatan Aktif dalam Inisiatif Global
    Indonesia perlu aktif dalam dialog internasional soal tata kelola AI. Kolaborasi lintas sektor—pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil—harus ditingkatkan. Pengembangan talenta digital dan ekosistem riset AI juga harus diprioritaskan agar Indonesia tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga pemain utama dalam revolusi AI global.

Strategi Jepang dalam mengatur AI bukan hanya mencerminkan kematangan hukum, tetapi juga kecermatan dalam menakar masa depan. Hukum tidak boleh menjadi rem bagi inovasi. Sebaliknya, regulasi harus menjadi panduan yang memberi arah, bukan batasan semata. Indonesia pun harus mengambil langkah strategis serupa—membangun kerangka hukum yang adaptif, inovatif, dan berorientasi pada masa depan. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *