WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait Iran. Dalam pernyataannya pada Minggu (30/3), Trump mengancam akan melancarkan serangan militer besar-besaran jika Teheran menolak tawaran perundingan baru soal program nuklirnya.
“Jika mereka tidak bersedia membuat kesepakatan, akan ada pemboman. Dan ini bukan sembarang pemboman, ini akan jadi serangan yang belum pernah mereka saksikan sebelumnya,” tegas Trump seperti dikutip dari The Independent, Senin (31/3).
Ancaman tersebut datang di tengah upaya intensif pemerintahan Trump untuk meraih kesepakatan baru yang ditujukan untuk menghentikan total pengembangan senjata nuklir Iran. Dalam manuver diplomatiknya, Trump dikabarkan telah mengirimkan surat langsung kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, yang menawarkan pelonggaran sanksi ekonomi serta peluang kerja sama internasional jika Iran bersedia membuka pintu dialog.

Namun, Iran secara resmi menolak negosiasi langsung dengan AS pada Sabtu (29/3/2025). Presiden Iran, Masoud Pezeshkian, menyatakan bahwa pesan dari Trump sudah disampaikan kepada negosiator Iran melalui mediasi pemerintah Oman. Meski demikian, Teheran menyisakan ruang bagi negosiasi tidak langsung di masa depan, dengan syarat AS harus terlebih dahulu membangun kembali kepercayaan yang telah lama terkikis.
“Kami tidak menutup diri dari dialog. Masalahnya adalah pelanggaran kesepakatan yang telah berkali-kali dilakukan terhadap kami,” ujar Pezeshkian dalam rapat kabinet yang disiarkan televisi nasional.
Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS juga memperingatkan Iran tentang konsekuensi berat jika terus melanjutkan program nuklirnya. “Iran harus memilih antara masa depan damai atau kehancuran yang ditimbulkan oleh kelalaian mereka sendiri,” bunyi pernyataan resmi dari Washington.
Data terbaru dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menunjukkan bahwa Iran mempercepat pengayaan uranium selama beberapa bulan terakhir, memperdalam kekhawatiran komunitas internasional.
Ketegangan antara AS dan Iran telah meningkat dalam setahun terakhir. Selain masalah nuklir, Washington dan sekutunya, termasuk Israel, menuding Iran terlibat dalam pendanaan dan dukungan intelijen terhadap kelompok bersenjata di kawasan, termasuk Houthi di Yaman yang baru-baru ini terlibat konflik bersenjata dengan pasukan AS di Laut Merah.
Di sisi lain, AS juga meningkatkan tekanan terhadap Irak untuk membatasi pengaruh Iran. Pemerintah Irak saat ini tengah menimbang undang-undang keamanan nasional baru untuk mengendalikan kelompok milisi Syiah Popular Mobilization Forces (PMF) yang memiliki kedekatan dengan Teheran.
“Untuk memperkuat kedaulatan nasionalnya, Irak harus memastikan seluruh pasukan keamanan berada di bawah kendali pemerintah, bukan negara asing,” ujar Juru Bicara Gedung Putih, Tammy Bruce.
Ketegangan ini semakin memuncak setelah pada Oktober 2024, Iran meluncurkan rudal balistik ke wilayah Israel sebagai respons atas pembunuhan seorang tokoh Hamas di Teheran. Meski kerusakan yang ditimbulkan minim, namun serangan itu menjadi sinyal bahwa Iran siap untuk membalas setiap tekanan militer. (RH)
