GLOBAL/ WASHINGTON DC – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mencabut izin akses informasi rahasia negara yang sebelumnya dimiliki oleh mantan Presiden Joe Biden serta beberapa pejabat senior lainnya. Kebijakan ini diumumkan melalui sebuah memorandum resmi pada Jumat (21/3) malam.
Dalam daftar nama yang kehilangan akses tersebut, selain Biden, terdapat juga mantan Wakil Presiden Kamala Harris, mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, serta mantan anggota parlemen dari Partai Republik, Liz Cheney, yang dikenal sebagai pengkritik vokal Trump. Selain itu, Alexander Vindman, pensiunan perwira tinggi militer AS kelahiran Ukraina, juga termasuk dalam daftar tersebut.

Keputusan ini dinilai sebagai langkah politik yang semakin memperkuat garis pemisah antara Trump dan lawan-lawan politiknya. Pasalnya, secara tradisional, mantan presiden dan pejabat tinggi yang pernah menjabat di bidang keamanan nasional tetap diberikan akses terhadap informasi intelijen rahasia untuk memberikan masukan kepada presiden yang sedang menjabat.
“Saya dengan ini mengarahkan setiap departemen eksekutif dan pimpinan lembaga untuk mencabut izin keamanan aktif yang dimiliki oleh individu-individu tersebut,” demikian pernyataan Trump dalam memorandum itu. Ia juga menegaskan bahwa mereka tidak boleh lagi memiliki akses tanpa pengawalan ke fasilitas pemerintah AS dengan tingkat keamanan tinggi.
Salah satu nama dalam daftar, Alexander Vindman, sebelumnya pernah berselisih dengan Trump setelah menyuarakan kekhawatirannya terkait hubungan Gedung Putih dengan Rusia. Hal ini semakin memperkuat anggapan bahwa pencabutan akses keamanan ini merupakan langkah politik yang disengaja.
Langkah Trump ini mengingatkan pada tindakan serupa yang dilakukan Biden pada 2021, ketika akses informasi rahasia milik Trump dicabut setelah ia meninggalkan Gedung Putih. Meskipun kebijakan ini mungkin tidak berdampak langsung terhadap mantan pejabat yang bersangkutan, keputusan Trump mencerminkan pendekatan politik yang lebih konfrontatif terhadap oposisi.
Sejumlah pihak, terutama dari Partai Demokrat, mengkritik langkah ini sebagai bentuk pembalasan politik yang dapat memperlemah mekanisme konsultasi keamanan nasional. Namun, di sisi lain, pendukung Trump menyebutnya sebagai upaya menjaga keamanan informasi negara dari pihak-pihak yang tidak lagi memiliki kewenangan di pemerintahan.
Langkah ini semakin menegaskan bahwa Trump tetap berpegang pada kebijakan politik yang keras terhadap lawan-lawannya, memperkuat dinamika persaingan politik di AS menjelang tahun-tahun mendatang. (RH)
