OLEH : Taufiq AGani Peneliti di IDCI – Indonesia Digital And Cyber Institute DAN Alumni Lemhannas PPRA 65, PKN II LAN RI, Ph.D Computer Science, USM, Penang, Malaysia
**PRADANAMEDIA/ – Penjaga negara tidak seharusnya dikerahkan hanya untuk menjaga kantor. Ini bukan sekadar soal prajurit yang patuh menjalankan perintah, tetapi soal arah kelembagaan negara yang justru berpotensi menyesatkan posisi strategis Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Tugas-tugas yang bersifat administratif atau keamanan lingkungan sipil sejatinya bukan ranah militer. Penempatan TNI di posisi seperti ini bukan hanya tidak efisien, tetapi juga menunjukkan kecenderungan negara menyia-nyiakan potensi strategis TNI dalam menghadapi tantangan masa depan yang jauh lebih kompleks.

Ancaman Nyata: Bukan di Halaman Kantor, Tapi di Lini Siber dan Informasi
Dunia berubah. Ancaman terhadap kedaulatan negara kini bergerak dalam bentuk yang tak kasat mata—serangan siber, infiltrasi data, disinformasi massal, hingga manipulasi opini publik berbasis teknologi. Justru dalam lanskap baru inilah kehadiran TNI sangat dibutuhkan. Bukan sebagai pengisi celah kelembagaan sipil, melainkan sebagai aktor utama yang memimpin pertahanan nasional dalam medan yang terus berubah cepat.
Fungsi keamanan sipil bisa dikelola oleh kepolisian dan aparatur birokrasi. Yang kita butuhkan dari TNI adalah kemampuannya membaca dinamika eskalasi ancaman dan merancang sistem respons terpadu di tingkat strategis. Penempatan personel militer sebagai penjaga institusi sipil hanyalah pengulangan dari pendekatan lama yang sudah usang.
Negara Lain Sudah Bergerak, Kita Masih Berputar
Di negara-negara besar, militer tidak lagi ditempatkan menjaga pagar kantor kementerian. Mereka difokuskan menjaga arsitektur kedaulatan nasional—di ruang siber, luar angkasa, dan medan teknologi tinggi. Di Indonesia, justru yang terjadi sebaliknya: TNI disibukkan dengan tugas-tugas non-strategis seperti mengawal kantor, mendidik “anak nakal”, hingga menanam kedelai.
Padahal, TNI memiliki semua modal struktural yang dibutuhkan dalam konteks ancaman nonkonvensional: disiplin komando, kecepatan eksekusi, dan daya adaptasi tinggi. Semua itu adalah keunggulan taktis yang sayangnya belum dimobilisasi secara optimal untuk menghadapi serangan siber berskala nasional, penyusupan informasi, maupun perang psikologis digital.
Reposisi Bukan Ancaman Demokrasi
Reposisi peran TNI bukan berarti mengancam prinsip demokrasi. Sebaliknya, demokrasi yang matang justru membutuhkan militer yang kuat secara visi dan terarah secara mandat. Supremasi sipil tetap prinsip utama, tetapi visi pertahanan tak bisa diserahkan pada birokrasi sektoral yang lamban membaca zaman.
Di sinilah pentingnya revisi Undang-Undang TNI. Bukan semata soal penyesuaian hukum, melainkan tentang menyusun doktrin baru yang memungkinkan keterlibatan aktif militer dalam domain strategis modern—tanpa melanggar batas sipil-militer yang sehat. Kita membutuhkan struktur komando krisis siber nasional. Bukan karena paranoia digital, melainkan karena realitas geopolitik yang menuntut kesiapsiagaan tingkat tinggi.
Dari Huntington ke Schiff: Waktu untuk Paradigma Baru
Pandangan klasik seperti yang dikemukakan Samuel Huntington dan Morris Janowitz soal pemisahan tegas antara militer dan sipil masih relevan. Namun dalam dunia non-linear hari ini, pendekatan itu tak lagi cukup. Rebecca L. Schiff, lewat Concordance Theory, menekankan bahwa stabilitas hubungan sipil-militer tidak hanya soal jarak institusional, tetapi soal kesepahaman peran antara militer, elite politik, dan masyarakat.
Kolaborasi inilah yang perlu kita bangun sebagai fondasi ketahanan nasional ke depan. Jika medan utama pertempuran masa depan ada di ruang siber, maka meninggalkan TNI di pinggir gelanggang adalah bentuk kelalaian strategis.
Jangan Biarkan Waktu Jadi Musuh
Waktu tak lagi berpihak pada kita. Ancaman datang lebih cepat dari kemampuan kita merespons. Tanpa kejelasan peran, tanpa mandat strategis, kita membiarkan TNI berada dalam kekosongan arah. Sementara itu, medan utama dibiarkan tanpa penjaga.
Sudah saatnya pertanyaan ini diajukan secara serius: Apakah kita memberi ruang yang cukup bagi TNI untuk berkembang sebagai aktor strategis masa depan? Bila jawabannya ragu-ragu, maka kita sedang menunda peran penting yang hanya bisa dimainkan oleh lembaga sekelas TNI.
Yang dibutuhkan bangsa ini bukan sekadar penjaga kantor. Yang kita butuhkan adalah penjaga masa depan. (RH)
