**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Pemerintah Indonesia tengah bersiap mengirimkan surat resmi kepada pemerintah Amerika Serikat (AS), menyusul kebijakan tarif resiprokal yang baru saja diumumkan oleh Presiden AS Donald Trump. Dalam kebijakan tersebut, Indonesia dikenai tarif impor sebesar 32 persen, sebagai respons atas rencana Indonesia yang sebelumnya berencana memberlakukan tarif hingga 64 persen terhadap produk asal AS.
Pemerintah AS memberikan tenggat waktu hingga Rabu (9/4) bagi Indonesia untuk menyampaikan sikap resmi terhadap kebijakan tersebut. Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa surat balasan tengah disiapkan.
“Ini sudah dibahas dan akan ada surat resmi ke sana (AS), ya,” ujar Airlangga di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (7/4).

Presiden Prabowo Subianto telah menugaskan Airlangga bersama Menteri Luar Negeri Sugiono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk merumuskan langkah negosiasi. Ketiganya diminta menyusun posisi Indonesia dengan mempertimbangkan batas waktu yang diberikan dan arah kebijakan dari Presiden.
“Sesuai dengan jadwal yang diberikan. Sebelum tanggal 9 (April) kita sudah melemparkan posisi kita,” jelas Airlangga.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa Presiden Prabowo sendiri akan menyampaikan sikap resmi Indonesia kepada publik pada Selasa (8/4), dalam sebuah pertemuan bersama para investor, ekonom, pelaku pasar, dan masyarakat. Acara itu akan digelar di Plaza PT Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) Mandiri Tower, Sudirman, Jakarta Pusat, pukul 13.00 WIB.
“Jadi tunggu besok jam 1 (siang) di acara di Bank Mandiri Bapindo karena yang akan menyampaikan Bapak Presiden langsung,” ujar Airlangga.
Sebelumnya, pada 2 April 2025, Presiden Trump mengumumkan kebijakan tarif baru, yang menetapkan tarif minimal 10 persen terhadap seluruh produk impor dari berbagai negara. Indonesia terkena imbas dengan tarif 32 persen, yang dinilai sebagai respons atas dugaan kebijakan proteksionis Indonesia, termasuk manipulasi nilai tukar dan non-tariff barrier (NTB).
Untuk kawasan ASEAN, tarif yang dikenakan AS bervariasi. Malaysia dan Brunei Darussalam dikenakan 24 persen, Filipina 17 persen, Singapura 10 persen, sementara Kamboja, Laos, Vietnam, Myanmar, dan Thailand menerima tarif antara 36 hingga 49 persen.
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M. Fadhil Hasan, menilai bahwa kebijakan ini memicu ketidakpastian. Ia mengatakan bahwa Indonesia selama ini menerapkan tarif impor di kisaran 8–9 persen terhadap hampir semua negara, termasuk AS.
“Perhitungan terhadap NTB sangat sulit dilakukan dan sejauh ini tidak ada argumen yang cukup kuat untuk mendasarinya. Jadi ini jadi sangat membingungkan,” tuturnya.
Dengan kebijakan baru ini, sejumlah pihak memprediksi bahwa Indonesia akan menyesuaikan rencana tarifnya menjadi lebih moderat, di kisaran 8–9 persen, demi menjaga hubungan dagang dan menghindari eskalasi lebih lanjut. (RH)
