Tantangan dan Harapan Program Food Estate di Kalimantan Tengah

EKONOMI LOKAL

Palangka Raya – Kebijakan food estate merupakan salah satu Program Strategis Nasional yang ditetapkan melalui PP Nomor 109/2020 di era Presiden Joko Widodo. Proyek ini berlokasi di lahan bekas gambut seluas 30.000 hektare di Provinsi Kalimantan Tengah, dengan fokus utama pada pengembangan pertanian padi.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman telah melakukan beberapa kunjungan ke lahan cetak sawah di Desa Dadahup, Kabupaten Kapuas, untuk memastikan penyediaan alat pertanian dan menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menjalankan program ini. Food estate diluncurkan sebagai respons terhadap kebutuhan cadangan pangan nasional, terutama selama pandemi Covid-19.

Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng mengungkapkan keprihatinan atas pelaksanaan proyek ini, yang dinilai gagal karena kurangnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan. Seorang warga lokal, Rangkap, menegaskan bahwa mereka tidak dilibatkan dalam musyawarah terkait pembukaan kebun singkong. Investigasi oleh Pantau Gambut, Walhi Kalteng, dan BBC Indonesia mengungkapkan masalah serius terkait hilangnya tutupan pohon di area seluas 3.964 hektare tanpa hasil yang signifikan pada tahun lalu.

Bayu Herinata, Direktur Walhi Kalteng, menjelaskan bahwa pengembangan food estate ini berdampak negatif pada lingkungan dan keberlangsungan mata pencaharian masyarakat. Diperlukan langkah konkret untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Kegagalan proyek sering kali disebabkan oleh kurangnya partisipasi masyarakat, yang menyebabkan ketidakpuasan dan penolakan terhadap inisiatif tersebut.

Menurut Bayu, memahami kebutuhan dan kekhawatiran masyarakat lokal adalah kunci untuk keberhasilan proyek. Tanpa keterlibatan mereka, kebijakan yang diambil cenderung tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya setempat. Oleh karena itu, penting untuk melibatkan masyarakat dalam setiap tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi food estate agar proyek ini dapat berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak.

Bayu juga menyarankan agar pengelolaan food estate menggunakan pendekatan agribisnis yang memberdayakan komunitas lokal. Ia menekankan perlunya evaluasi menyeluruh dan penelitian akademis yang mendalam untuk meningkatkan produksi pangan secara optimal. Dengan memperhatikan potensi pangan lokal, diharapkan proyek food estate dapat diadaptasi dengan baik dan menghilangkan stigma kegagalan akibat kurangnya keterlibatan masyarakat. (KN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *