Sunyi Jelang Pilpres Korea Selatan: Demokrasi yang Tenang dalam Bayang-Bayang Pemakzulan

INTERNASIONAL POLITIK

**PRADANAMEDIA – Korea Selatan akan menggelar pemilihan presiden mendadak pada 3 Juni 2025, menyusul pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol pada 14 Desember 2024 dan pemberhentiannya secara resmi pada April 2025. Ini menjadi kali kedua dalam sejarah negeri Ginseng tersebut mengadakan pemilu lebih awal dari jadwal seharusnya akibat krisis politik. Awalnya, pilpres dijadwalkan berlangsung pada Maret 2027.

Dalam rangka program Indonesia Next Generation Journalist 2025—hasil kolaborasi antara Korea Foundation dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI)—tim jurnalis Kompas.com mengunjungi beberapa kota besar di Korea Selatan, termasuk Seoul dan Busan, pada akhir Mei. Di tengah mendekatnya hari pemungutan suara, suasana kampanye justru terlihat sepi dan minim euforia politik.

Kampanye yang Rapi dan Terkendali

Pantauan di distrik Myeongdong dan Namdaemun di Seoul menunjukkan minimnya alat peraga kampanye. Hanya beberapa spanduk berukuran kecil terlihat di titik-titik tertentu seperti perempatan jalan atau di depan gedung apartemen. Tidak ada baliho raksasa, selebaran yang menempel sembarangan, apalagi kampanye jalanan yang hiruk-pikuk.

Pemandangan serupa juga ditemukan di Busan. Di Pantai Gwangalli, seorang wanita tampak duduk sendiri sembari memegang banner calon presiden dari Partai Tenaga Kerja Demokrat, Kwon Young-guk. Ia mengenakan atribut partai serba kuning, tetapi tidak melakukan orasi maupun interaksi dengan orang lain.

Mobil kampanye pun sesekali terlihat melintas di jalan, dengan orasi singkat dari pengeras suara yang dipasang di mobil bak terbuka. Namun, suasana tetap tenang, tanpa kerumunan atau musik keras yang biasa ditemui dalam kampanye di negara lain, termasuk Indonesia.

Kontras dengan Indonesia

Jika dibandingkan dengan suasana kampanye di Indonesia, perbedaan mencolok langsung terasa. Di Tanah Air, masa kampanye biasanya ditandai dengan pemasangan alat peraga beraneka ukuran dan warna yang tersebar di hampir setiap sudut kota. Semarak ini justru dianggap memperkuat atmosfer politik menjelang pemilu.

Namun di Korea Selatan, kampanye yang “sunyi” ini tampaknya mencerminkan situasi politik yang masih dalam bayang-bayang krisis kepercayaan akibat pemakzulan presiden sebelumnya.

Polarisasi Politik dan Perang Opini di Dunia Maya

Kendati jalanan tampak tenang, atmosfer panas justru berpindah ke ruang digital. Media sosial seperti YouTube, Facebook, dan aplikasi pesan KakaoTalk menjadi ajang perdebatan, penyebaran informasi—dan juga misinformasi. Polarisasi makin terasa karena dua calon terpopuler, yakni Lee Jae-myung dari Partai Demokrat (oposisi liberal) dan Kim Moon-soo dari Partai Kekuatan Rakyat (konservatif, partai pengusung Yoon), saling bersaing ketat.

Berdasarkan survei yang dirilis National Election Commission (NEC), Lee Jae-myung memimpin dengan 49 persen dukungan, sementara Kim Moon-soo memperoleh 35 persen. Calon presiden dengan elektabilitas tertinggi ketiga adalah Lee Jun-seok dari Partai Reformasi Baru dengan 11 persen.

Harapan untuk Persatuan dan Demokrasi

Menurut jurnalis muda Korea Selatan, Lee Siyoung, suasana kampanye kali ini terasa lebih sunyi dan penuh kecemasan. “Biasanya pemilu presiden di sini berlangsung semarak seperti sebuah perayaan. Tapi kali ini, orang-orang tampaknya lebih khawatir ketimbang berharap,” ujarnya.

Seorang warga lokal yang enggan disebutkan namanya menyatakan bahwa isu politik justru menjadi lebih panas di dunia maya. Polarisasi tampak mencolok, terutama akibat skandal pemakzulan yang membelah opini publik.

Meski demikian, masyarakat Korea Selatan tetap menyimpan harapan besar terhadap presiden terpilih nanti. “Kami ingin pemimpin yang tidak hanya mampu mempersatukan masyarakat, tetapi juga menjaga nilai-nilai demokrasi selama lima tahun ke depan,” tutur Siyoung.

Pemilu Korea Selatan kali ini bukan hanya soal memilih presiden baru, tetapi juga soal memulihkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem politik. Ketika demokrasi diuji lewat pemakzulan, proses pemilu yang damai dan hasilnya yang diterima luas bisa menjadi momen penting untuk menyembuhkan luka politik bangsa. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *