PRADANAMEDIA / SAMPIT – Rencana pembangunan pabrik pengolahan atau smelter di Kecamatan Pulau Hanaut, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah, kembali menghadapi kendala serius. Hasil uji pengeboran di lokasi menunjukkan adanya rembesan air laut di bawah permukaan tanah, sehingga investor memutuskan untuk meninjau ulang kelayakan lahan tersebut.
Bupati Kotim, Halikinnor, mengungkapkan bahwa hasil uji tersebut menjadi pertimbangan penting bagi pihak investor sebelum melangkah ke tahap pembangunan berikutnya. Kondisi tanah yang terkontaminasi air laut dinilai dapat mengganggu stabilitas dan keamanan struktur pabrik dalam jangka panjang.
“Saat pengeboran di Pulau Hanaut, ditemukan air laut yang masih merembes ke dalam tanah. Karena itu, mereka belum bisa melanjutkan proses dan kini mencari lokasi baru yang lebih layak,” ujar Halikinnor, Senin (27/10).

Ia menegaskan, pemerintah daerah tidak akan memaksakan proyek investasi berskala besar itu jika hasil kajian teknis menunjukkan lokasi tidak memenuhi syarat. Menurutnya, langkah hati-hati sangat diperlukan agar proyek bernilai strategis tersebut tidak menimbulkan masalah di masa depan.
“Kita ingin semua tahapan dilakukan dengan matang dan berdasarkan kajian teknis. Jangan sampai proyek besar dijalankan tergesa-gesa tanpa memperhatikan aspek keselamatan dan lingkungan,” tegasnya.
Investasi Fantastis, Kajian Lingkungan Jadi Kunci
Proyek smelter di Kotim ini sebelumnya sempat menjadi perhatian publik karena nilai investasinya yang fantastis, mencapai sekitar Rp160 triliun. Pabrik tersebut dirancang untuk mengolah bahan tambang seperti bauksit, silika, dan batu bara, sekaligus membuka lapangan kerja bagi ribuan warga lokal.
Namun hingga kini, pihak investor masih berhati-hati. Mereka belum melangkah ke tahap perizinan akhir, melainkan fokus pada survei lapangan dan penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Langkah ini dilakukan untuk memastikan lokasi yang dipilih benar-benar aman dan sesuai ketentuan lingkungan.
Dari hasil survei sementara, wilayah Pulau Hanaut, Cemeti, dan Ujung Pandaran memiliki lapisan gambut yang cukup dalam serta potensi tinggi terhadap rembesan air laut. Kondisi geologis tersebut menjadi tantangan besar bagi pembangunan pabrik di kawasan pesisir tersebut.
Sementara itu, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kotim saat ini tengah melakukan inventarisasi ulang terhadap status lahan calon lokasi smelter untuk memastikan tidak ada tumpang tindih kepemilikan atau konflik penggunaan lahan di kemudian hari.
Dengan berbagai temuan teknis dan faktor lingkungan tersebut, masa depan proyek smelter senilai triliunan rupiah di Pulau Hanaut masih bergantung pada hasil kajian menyeluruh. Pemerintah daerah berharap, keputusan akhir yang diambil nantinya benar-benar mempertimbangkan aspek keselamatan, keberlanjutan, dan manfaat bagi masyarakat lokal. (RH)

