**PRADANAMEDIA/ BANGKOK – Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, berada di bawah tekanan politik yang semakin berat setelah rekaman percakapan pribadinya dengan mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, bocor dan memicu kontroversi besar di dalam negeri.
Rekaman berdurasi 17 menit yang diunggah langsung oleh Hun Sen ke akun Facebook-nya pada Rabu (18/6) itu memperdengarkan dialog sensitif mengenai ketegangan di perbatasan Thailand-Kamboja. Alih-alih meredakan ketegangan, isi percakapan justru memicu krisis baru yang mengguncang fondasi pemerintahan Paetongtarn.

Nada Lunak dan Kritikan ke Militer Tuai Kecaman
Dalam percakapan yang dilakukan dengan bantuan penerjemah bahasa Thai dan Khmer, Paetongtarn terdengar menyapa Hun Sen dengan sapaan akrab “uncle” dan mengkritik institusi militer Thailand.
“Sekarang ini pihak militer ingin terlihat keren. Mereka akan menyampaikan hal-hal yang tidak menguntungkan bagi bangsa,” ujarnya. Ia juga menambahkan, “Kalau dia (Hun Sen) ingin sesuatu, katakan saja, dan kami akan mengaturnya.”
Pernyataan tersebut dianggap terlalu lunak terhadap pihak asing, sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa sang perdana menteri lebih mementingkan hubungan personal dibanding kepentingan nasional.
Koalisi Mulai Runtuh, Seruan Pengunduran Diri Menggema
Reaksi atas rekaman ini berlangsung cepat. Pada Rabu malam, Partai Bhumjaithai—mitra terbesar kedua dalam koalisi pemerintahan—resmi menarik dukungannya. Hal ini membuat Partai Pheu Thai yang dipimpin Paetongtarn kehilangan kendali mayoritas di parlemen.
“Ini bisa menjadi awal dari akhir pemerintahan Paetongtarn,” ujar Napon Jatusripitak, analis politik dari ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura.
Tak hanya dari oposisi, tekanan juga datang dari internal koalisi. Sejumlah anggota parlemen menilai pernyataan Paetongtarn telah merusak wibawa negara dalam sengketa perbatasan yang sensitif.
Respons PM: “Itu Strategi Diplomasi”
Dalam konferensi pers pada Kamis (19/6/2025), Paetongtarn menyampaikan bahwa percakapannya dengan Hun Sen merupakan bagian dari strategi negosiasi untuk meredakan konflik.
“Nada saya yang simpatik dan lunak adalah bentuk diplomasi. Itu percakapan pribadi yang tidak semestinya dipublikasikan,” tegasnya. Ia juga menyayangkan tindakan Hun Sen yang menyebarkan rekaman tersebut ke publik tanpa persetujuan.
Namun klarifikasi itu tak cukup meredam kemarahan publik. Keesokan harinya, puluhan pengunjuk rasa berkumpul di depan kantor perdana menteri di Bangkok, menuntut pengunduran dirinya.
Sengketa Perbatasan Memanas, Isu Lama Kembali Muncul
Ketegangan Thailand-Kamboja meningkat setelah bentrokan di wilayah perbatasan menewaskan seorang tentara Kamboja. Kedua negara saling menyalahkan atas insiden tersebut. Pemerintah Thailand telah melayangkan nota protes resmi ke Kamboja, mengecam kebocoran percakapan sebagai “pelanggaran etika diplomatik” yang merusak kepercayaan antarnegara.
Skandal ini juga membuka kembali luka lama: rekam jejak keluarga Shinawatra. Paetongtarn adalah putri dari mantan PM Thaksin Shinawatra, tokoh kontroversial yang kembali ke Thailand pada 2023 setelah 15 tahun pengasingan. Meskipun divonis bersalah atas korupsi, Thaksin menghabiskan masa “tahanan” di ruang VIP rumah sakit polisi. Namun, Dewan Medis Nasional Thailand baru-baru ini menyatakan tidak ada dasar medis kuat untuk rawat inap tersebut, dan Mahkamah Agung dijadwalkan memeriksa legalitasnya pekan depan.
Bayangan Kudeta dan Seruan Persatuan
Ketegangan politik ini muncul di saat Thailand sedang merundingkan kesepakatan dagang penting dengan Amerika Serikat dan belum menemukan solusi atas konflik perbatasan dengan Kamboja.
Walau belum ada tanda-tanda intervensi langsung dari militer, kekhawatiran akan kudeta kembali mencuat—mengingat sejarah panjang intervensi militer di politik Thailand. Beberapa analis bahkan menyebut elite konservatif bisa menggunakan jalur hukum untuk menggulingkan Paetongtarn.
Panglima Angkatan Darat Thailand pun akhirnya angkat bicara. Dalam pernyataan resmi, ia menyerukan agar rakyat Thailand menjaga persatuan. “Yang paling penting sekarang adalah solidaritas nasional. Kepentingan bangsa harus menjadi yang utama,” ujarnya, Kamis (19/6/2025). (RH)
