PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan enam tersangka dalam kasus dugaan suap proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Penetapan ini dilakukan setelah operasi tangkap tangan (OTT) yang digelar pada Sabtu (15/3).
Para tersangka diduga terlibat dalam persekongkolan untuk mengatur dan merencanakan proyek di lingkungan Dinas PUPR OKU. Mereka adalah Kepala Dinas PUPR OKU, Nopriansyah (NOP); anggota Komisi III DPRD OKU, Ferlan Juliansyah (FJ); Ketua Komisi III DPRD OKU, M Fahrudin (MFR); serta Ketua Komisi II DPRD OKU, Umi Hartati (UH). Selain itu, dua tersangka lainnya berasal dari kalangan swasta, yaitu M Fauzi alias Pablo (MFZ) dan Ahmad Sugeng Santoso (ASS).

Modus Operasi: Jatah “Pokir” Berubah Jadi Proyek Fisik
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, mengungkapkan bahwa kasus ini bermula pada Januari 2025 saat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten OKU Tahun Anggaran 2025. Sejumlah anggota DPRD OKU meminta alokasi dana pokok pikiran (pokir) sebagai syarat pengesahan RAPBD.
Sebagai hasil kesepakatan, dana pokir tersebut dialihkan menjadi proyek fisik senilai Rp 40 miliar yang dikelola Dinas PUPR OKU. Distribusi proyek pun ditentukan, di mana Ketua dan Wakil Ketua DPRD mendapat proyek senilai Rp 5 miliar, sementara setiap anggota DPRD memperoleh Rp 1 miliar.
Namun, karena keterbatasan anggaran, nilai proyek akhirnya dikurangi menjadi Rp 35 miliar. Meski demikian, jatah fee untuk anggota DPRD tetap dipatok sebesar 20 persen, dengan total fee mencapai Rp 7 miliar. Anggaran Dinas PUPR pun melonjak drastis dari Rp 48 miliar menjadi Rp 96 miliar akibat kesepakatan tersebut.
Keterlibatan Pihak Swasta dan Skema Proyek
Dalam skema yang dirancang, Nopriansyah menawarkan sembilan proyek kepada Fauzi dan Ahmad Sugeng dengan komitmen fee sebesar 22 persen—di mana 2 persen untuk Dinas PUPR dan 20 persen untuk DPRD. Fauzi dan Sugeng kemudian mengendalikan proyek melalui perusahaan-perusahaan tertentu yang berbasis di Lampung Tengah.
Beberapa proyek yang masuk dalam kesepakatan ini antara lain:
- Rehabilitasi rumah dinas bupati senilai Rp 8,3 miliar (CV RF)
- Rehabilitasi rumah dinas wakil bupati senilai Rp 2,4 miliar (CV RE)
- Pembangunan Kantor Dinas PUPR OKU senilai Rp 9,8 miliar (CV DSA)
- Pembangunan jembatan di Desa Guna Makmur senilai Rp 983 juta (CV GR)
- Peningkatan jalan poros di beberapa desa dengan nilai proyek bervariasi antara Rp 3,9 miliar hingga Rp 4,9 miliar
Untuk memperlancar proses ini, pejabat terkait bahkan melakukan perjalanan ke Lampung Tengah untuk mengatur mekanisme pelaksanaan proyek.
Penagihan Fee Jelang Lebaran dan OTT KPK
Menjelang Idul Fitri, anggota DPRD OKU, yaitu Ferlan, Fahrudin, dan Umi, mulai menagih fee yang telah disepakati. Nopriansyah menjanjikan pembayaran melalui pencairan uang muka proyek. Pada 11-12 Maret 2025, Fauzi mulai mengurus pencairan dana di bank daerah, namun terjadi kendala cash flow yang membuat sebagian uang dialihkan untuk membayar tunjangan hari raya (THR) dan tunjangan tambahan penghasilan (TPP).
Pada 13 Maret, Fauzi mencairkan uang muka proyek dan menyerahkan Rp 2,2 miliar kepada Nopriansyah. Selain itu, Ahmad Sugeng juga telah menyerahkan Rp 1,5 miliar sebelumnya. KPK yang telah mengendus pergerakan ini langsung bergerak cepat.
Pada 15 Maret, tim KPK menggerebek rumah Nopriansyah dan menemukan uang tunai Rp 2,6 miliar yang diduga sebagai bagian dari suap proyek. KPK juga melakukan penangkapan terhadap Fauzi, Ahmad Sugeng, Ferlan, Fahrudin, dan Umi di kediaman masing-masing. Sejumlah barang bukti lain turut diamankan, termasuk satu unit mobil Toyota Fortuner, dokumen penting, serta alat komunikasi yang terkait dengan kasus ini.
Proses Hukum dan Ancaman Hukuman
Setelah dilakukan pemeriksaan, enam orang ditetapkan sebagai tersangka. Sementara itu, dua orang lain yang sempat diamankan dinyatakan belum cukup bukti dan dipulangkan. Para tersangka dijerat dengan Pasal 12 huruf a, b, f, serta Pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Untuk tersangka dari pihak swasta, MFZ dan ASS, dikenakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b UU Tipikor. Saat ini, keenam tersangka telah ditahan di Rutan KPK untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Masa penahanan awal ditetapkan selama 20 hari, terhitung sejak 16 Maret hingga 4 April 2025.
Kasus ini kembali menyoroti praktik korupsi dalam pengelolaan anggaran daerah, di mana kepentingan pribadi dan kelompok mengorbankan pembangunan yang seharusnya bermanfaat bagi masyarakat luas. KPK menegaskan akan terus mendalami kasus ini dan membuka kemungkinan adanya keterlibatan pihak lain, termasuk pejabat daerah yang lebih tinggi. (RH)

