**PRADANAMEDIA – Lembaga pemikir (think tank) yang didirikan oleh mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, yakni Tony Blair Institute (TBI), terseret dalam kontroversi global setelah dilaporkan terlibat dalam perancangan proyek yang dinilai sebagai cetak biru pembersihan etnis di Jalur Gaza.
Investigasi mendalam yang dilakukan Financial Times dan dirilis pada Minggu (6/7) mengungkap bahwa staf TBI berpartisipasi dalam pertemuan-pertemuan perencanaan sebuah proyek rekonstruksi Gaza yang kontroversial. Proyek itu mengandung skema relokasi paksa hingga 500.000 warga Palestina dari Gaza untuk dijadikan kawasan investasi mewah bertajuk “Gaza Riviera”.

Cetak Biru Relokasi dan “Gaza Riviera”
Skema tersebut didesain oleh sejumlah pengusaha Israel dan dikembangkan secara teknis oleh Boston Consulting Group (BCG). Proyek itu secara internal dinamakan “Aurora”, dan memuat konsep relokasi penduduk Palestina dengan biaya yang dihitung secara sistematis—sekitar 23.000 dolar AS per orang, atau setara Rp 374 juta, yang disebut “lebih murah” dibandingkan memberikan bantuan langsung di tempat.
Visi transformasi Gaza mencakup pembangunan pulau buatan yang terinspirasi dari Dubai, pusat manufaktur bebas pajak, hingga zona perdagangan berbasis blockchain. Tujuannya adalah mengubah Gaza menjadi kawasan ekonomi yang menarik bagi investor internasional, namun dengan risiko besar terhadap hak-hak penduduk aslinya.
Keterlibatan Lembaga Tony Blair
Meskipun pihak Tony Blair Institute membantah menyusun langsung cetak biru tersebut—berjudul “The Great Trust”—mereka mengakui bahwa dua stafnya ikut serta dalam panggilan dan diskusi grup pesan yang membahas masa depan Gaza pascaperang.
Lebih jauh lagi, Phil Reilly, mantan agen CIA yang kini memimpin operasi keamanan Gaza Humanitarian Foundation (GHF), dilaporkan telah mengajukan proyek ini langsung kepada Tony Blair pada Maret 2025. Meski disebut hanya “mendengarkan”, pihak TBI mengonfirmasi bahwa Blair turut meninjau aspek ekonomi dalam skema tersebut.
GHF dan Krisis Kemanusiaan
GHF sendiri merupakan yayasan bantuan kontroversial yang dibentuk dengan dukungan Israel dan Amerika Serikat. Dalam praktiknya, yayasan ini dikendalikan oleh kontraktor swasta AS, dikawal militer Israel, dan disebut-sebut telah menyebabkan kematian lebih dari 600 warga Palestina yang sedang mengantre bantuan makanan.
PBB dan berbagai organisasi kemanusiaan internasional mengecam keras keberadaan GHF, menyebutnya sebagai “kedok kemanusiaan” untuk tujuan militer dan politik Israel di Gaza.
Kritik Internasional
Proyeksi internal dalam skema Aurora menyebutkan bahwa 25 persen warga Gaza akan “secara sukarela” pindah dari wilayah mereka, dengan iming-iming paket relokasi senilai 9.000 dolar AS (Rp 146 juta). Namun banyak pengamat dan aktivis HAM menilai bahwa memberi insentif finansial untuk meninggalkan tanah air dalam kondisi perang dan kehancuran adalah bentuk pemindahan paksa, yang jelas melanggar hukum humaniter internasional.
Skema ini menimbulkan kekhawatiran luas akan upaya sistematis untuk mengubah demografi Gaza di bawah dalih rekonstruksi pascaperang, terutama setelah sebelumnya Presiden AS Donald Trump sempat menyuarakan keinginan agar Gaza diubah menjadi “Riviera Timur Tengah”.
Keterlibatan Tony Blair Institute, meski diklaim sebatas konsultatif, tetap memunculkan tanda tanya besar mengenai peran aktor internasional dalam konflik dan masa depan Palestina. Proyek-proyek seperti ini dinilai berisiko menormalisasi pembersihan etnis atas nama pembangunan dan investasi. (RH)
