Saksi di MK Ungkap Terima Rp 48 Juta untuk Pilih Paslon Tertentu dalam PSU Pilkada Barito Utara

HUKAM NASIONAL

**PRADANAMEDIA/ JAKARTA — Sidang sengketa hasil pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Barito Utara kembali mengungkap dugaan praktik politik uang yang mencolok. Dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (8/5), seorang saksi bernama Santi Parida Dewi mengaku menerima uang total Rp 48 juta bersama suami dan anaknya untuk memilih pasangan calon nomor urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya.

Santi dihadirkan sebagai saksi oleh pihak pemohon, pasangan calon nomor urut 1, Gogo Purnama Jaya-Hendro Nakalelo. Ia membeberkan bahwa pemberian uang dilakukan secara bertahap sejak akhir 2024 hingga menjelang hari pemungutan suara ulang pada 22 Maret 2025.

Pada tahap pertama, Santi mengaku menerima Rp 1 juta per orang pada Desember 2024. Lalu, pada 28 Februari 2025, ia bersama keluarganya mendatangi rumah orangtua Akhmad Gunadi Nadalsyah setelah dihubungi oleh tim paslon 2, dan masing-masing kembali menerima Rp 5 juta. Total yang diterima keluarganya saat itu mencapai Rp 15 juta.

“Jadi, saya terima 3 amplop, masing-masing berisi Rp 5 juta,” ungkap Santi saat ditanya langsung oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang perkara nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025.

Tak berhenti di situ, seminggu menjelang PSU, tepatnya pada 14 Maret 2025, Santi dan keluarganya kembali menerima uang tunai sebesar Rp 10 juta per orang. “Total kami terima Rp 30 juta untuk tiga orang,” ujarnya.

Dalam kesaksiannya, Santi juga menyebut bahwa dirinya menyaksikan sejumlah warga lainnya yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) menerima uang dalam jumlah serupa.

Perkara ini menjadi sorotan karena dalam pokok permohonan disebutkan bahwa pasangan calon nomor urut 2 diduga membagikan uang hingga Rp 16 juta per pemilih. Dugaan praktik politik uang ini terjadi di dua tempat pemungutan suara (TPS), yakni TPS 1 Kelurahan Melayu Teweh Tengah dan TPS 4 Desa Malaweken Teweh Baru.

Dugaan politik uang dalam PSU ini dinilai sebagai salah satu yang terbesar yang pernah terjadi di tingkat pilkada, dan dikhawatirkan menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal jika tidak ditindak tegas. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *