PRADANAMEDIA/ OPINI – Dalam dua dekade terakhir, ingatan kolektif masyarakat terhadap era Orde Baru dan konsep Dwifungsi ABRI perlahan memudar. Generasi yang lahir pasca-Reformasi semakin asing dengan suasana otoriter dan militeristik yang pernah mewarnai Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Fenomena ahistorisme ini kini dimanfaatkan oleh pemerintah, terbukti dengan digelarnya pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI pada 14-15 Maret 2025 di Hotel Fairmont, Jakarta, tanpa partisipasi publik yang memadai. Rapat yang dikoordinasikan oleh Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI bersama pemerintah ini berlangsung terburu-buru, menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran militer dalam ranah sipil.

Secara substansi, RUU TNI menuai kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat, terutama terkait Pasal 47 yang memungkinkan anggota TNI aktif untuk kembali menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Hal ini membuka ruang bagi kembalinya dominasi militer dalam birokrasi sipil, sebuah praktik yang mengingatkan pada era Dwifungsi ABRI. Tak hanya itu, Pasal 53 dalam RUU tersebut juga memperpanjang batas usia pensiun perwira TNI dari 58 menjadi 60 tahun, sementara pada jabatan fungsional tertentu bisa mencapai 65 tahun. Kebijakan ini berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan dalam tubuh TNI dan menyebabkan surplus perwira tanpa posisi yang jelas.
Ahistorisme Politik dan Upaya Distorsi Sejarah
Sebagaimana diingatkan oleh Presiden Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah.” Namun, dalam praktiknya, kutipan ini tampaknya tidak tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Dari tahun 1966 hingga 1998, Indonesia berada di bawah rezim Orde Baru yang sarat dengan otoritarianisme dan militerisme. Pemerintah saat itu secara aktif menekan kebebasan berpendapat, membungkam oposisi politik, dan mengokohkan kekuasaannya melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Salah satu manifestasi utama dari hegemoni militer dalam birokrasi adalah penempatan anggota ABRI di berbagai posisi strategis seperti gubernur, wali kota, hingga instansi pemerintahan non-militer.
Kini, dalam era Reformasi, upaya pemutarbalikan sejarah semakin masif dilakukan melalui media sosial dan algoritma digital yang menampilkan narasi nostalgia terhadap kepemimpinan Soeharto. Strategi ini secara psikologis berhasil membentuk opini publik yang permisif terhadap kembalinya pengaruh militer dalam kehidupan sipil. Dalam perspektif sosiologi politik, ahistorisme semacam ini dapat berujung pada regresi demokrasi yang nyata. Seperti yang dijelaskan dalam buku Time and World Politics (2020) oleh Kimberly Hutchings, pengabaian terhadap sejarah dapat menghasilkan kebijakan yang cacat dan berbahaya bagi kelangsungan negara. Bahkan, dalam banyak kasus, rezim otoriter sering kali menggunakan ahistorisme untuk menguatkan legitimasi mereka di mata masyarakat.
Regresi Demokrasi di Depan Mata
Reformasi 1998 membawa harapan akan terciptanya sistem demokrasi yang lebih sehat dan transparan. Sejumlah lembaga independen seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didirikan untuk memastikan tata kelola pemerintahan yang bersih dan bebas dari pengaruh otoritarianisme masa lalu. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, langkah-langkah pelemahan terhadap institusi-institusi demokrasi semakin terlihat. Misalnya, RUU KPK yang disahkan pada 2019 telah mengurangi independensi lembaga antikorupsi tersebut.
Data dari Freedom House menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia menurun dari 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024. Sementara itu, dalam laporan Democracy Index 2023, Indonesia hanya menempati peringkat ke-56 dengan skor 6,53, menandakan adanya kemunduran signifikan dalam sistem demokrasi. Meski demikian, survei Indikator Politik Indonesia pada 2024 menunjukkan bahwa 67 persen responden merasa bahwa demokrasi Indonesia masih dalam kondisi baik. Hal ini mencerminkan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap ancaman yang sedang mengintai demokrasi di Indonesia.
Mencegah Kembalinya Militerisme dalam Birokrasi
Minimnya literasi politik masyarakat menjadi celah bagi pemerintah untuk mempercepat pembahasan RUU TNI tanpa keterlibatan publik. Jika revisi ini disahkan, maka Indonesia akan menghadapi risiko kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan, yang dapat mengarah pada otoritarianisme terselubung. Dalam teori “power elite” yang dikemukakan Charles Wright Mills, penguatan peran militer dalam pemerintahan sipil adalah ciri utama dari proses militerisasi politik, yang sering kali menjadi awal dari rezim otoriter.
RUU TNI adalah salah satu bentuk ancaman yang harus dihadapi dengan kesadaran kolektif masyarakat. Sejarah kelam Dwifungsi ABRI di masa lalu menjadi preseden buruk yang tidak boleh terulang. Oleh karena itu, perlawanan terhadap RUU ini harus dilakukan secara struktural dan sistematis, baik melalui advokasi hukum, kampanye media sosial, maupun penyadaran publik melalui berbagai forum diskusi. Jangan sampai ahistorisme politik membuat kita lupa akan bahaya kembalinya otoritarianisme di Indonesia. (RH)

