“Retaknya Duet Trump-Musk: Dari Sekutu Politik Jadi Musuh Terang-terangan”

INTERNASIONAL PEMERINTAHAN

**PRADANAMEDIA/ WASHINGTON DC – Hubungan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan taipan teknologi Elon Musk resmi memasuki fase baru yang sarat konflik. Setelah sebelumnya terlihat akrab dan saling mendukung, kini keduanya justru terlibat dalam perseteruan terbuka yang dipenuhi drama politik, potensi dampak ekonomi, dan serangan personal di ruang publik.

Puncak ketegangan terjadi pada Kamis (5/6) waktu setempat saat Trump, dalam pidato di Ruang Oval Gedung Putih, melontarkan kritik pedas terhadap Musk. Ia menyuarakan kekecewaan mendalam setelah Musk—yang selama ini dikenal sebagai pendukung dan donatur besar kampanye Trump—mengkritik rancangan undang-undang anggaran pemerintah, yang oleh Trump disebut sebagai “One Big Beautiful Bill”.

“Saya sangat kecewa dengan Elon. Saya telah banyak membantunya,” kata Trump dengan nada emosional saat menerima kunjungan Kanselir Jerman Friedrich Merz. “Kami dulu punya hubungan yang hebat. Tapi saya tidak yakin itu akan tetap seperti itu,” imbuhnya, seperti dikutip dari AFP pada Jumat (6/6).

Lebih jauh, Trump yang kini berusia 78 tahun, menyebut Musk “gila” dan mengklaim bahwa pengusaha itu dipaksa mundur dari jabatan strategis di Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE). Ia bahkan menyinggung kondisi fisik Musk yang “semakin kurus”, seolah menjadikannya sebagai bahan ejekan tambahan.

Perang Kata di Dunia Maya

Menanggapi pernyataan Trump, Musk tidak tinggal diam. Melalui platform X—yang dimilikinya—Musk membalas dengan menyebut Trump sebagai sosok yang “tidak tahu berterima kasih”. Ia bahkan menyentil masa lalu kontroversial Trump dengan menyiratkan bahwa namanya muncul dalam dokumen pemerintah terkait Jeffrey Epstein, tokoh skandal pelecehan seksual yang tewas di penjara pada 2019.

“Semoga harimu menyenangkan, DJT!” tulis Musk dalam unggahan tajamnya, yang langsung viral.

Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menilai unggahan tersebut sebagai “episode emosional dari Elon” yang kecewa karena kebijakannya tidak diakomodasi dalam RUU anggaran terbaru.

Tak berhenti di situ, Musk yang diketahui telah menyumbangkan sekitar 300 juta dollar AS (sekitar Rp 4,8 triliun) untuk kampanye Trump, menyatakan bahwa kemenangan Trump di Pilpres 2024 “tidak akan mungkin” tanpa bantuannya. Ia bahkan merespons seruan pemakzulan Trump dari seorang pengguna media sosial dengan satu kata: “ya.”

Selain isu politik, Musk juga menyerang kebijakan ekonomi Trump, terutama tarif global yang dinilainya berisiko memicu resesi global.

Dampak Ekonomi dan Ancaman Balasan

Ketegangan antara keduanya segera berdampak di pasar. Saham Tesla anjlok, dan kapitalisasi pasarnya dikabarkan kehilangan lebih dari 100 miliar dollar AS hanya dalam waktu singkat. Trump tak tinggal diam. Ia mengancam akan mencabut berbagai kontrak pemerintah dengan perusahaan-perusahaan milik Musk, termasuk SpaceX dan penyedia layanan satelit Starlink.

“Cara termudah untuk menghemat anggaran adalah menghentikan subsidi dan kontrak untuk Elon. Itu bisa menghemat miliaran dolar,” tulis Trump di platform Truth Social.

Sebagai respons, Musk mengancam akan menonaktifkan pesawat ruang angkasa Dragon, yang selama ini digunakan NASA untuk mengangkut astronot ke dan dari Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).

Dari Sekutu Jadi Lawan

Hubungan keduanya memang dulunya sangat dekat. Trump mendukung pemangkasan anggaran DOGE dan menerima Musk di Gedung Putih beberapa kali. Bahkan, Musk sempat ikut dalam penerbangan bersama Trump di pesawat kenegaraan Air Force One. Namun, perbedaan visi mulai mencuat, terutama ketika Musk kecewa terhadap birokrasi pemerintah yang stagnan, serta ketidaksepakatannya terhadap RUU pengeluaran dan pajak Trump, yang ia sebut sebagai “kekejian fiskal”.

Musk akhirnya hanya bertahan empat bulan di DOGE sebelum mengundurkan diri. Kini, sebagai bentuk ketidakpuasan yang lebih besar, Musk bahkan sempat mengunggah polling kepada pengikutnya di X tentang kemungkinan membentuk partai politik baru—langkah yang bisa mengguncang stabilitas politik AS menjelang Pilpres 2028.

Di sisi lain, Steve Bannon—sekutu dekat Trump dan lawan vokal Musk—menyerukan agar Musk dideportasi dari AS, sebagaimana dilaporkan The New York Times.

Pertikaian ini menandai eskalasi baru dalam dinamika politik AS yang kian tidak terduga. Ketika dua tokoh berpengaruh saling menyerang secara terbuka, yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pribadi, melainkan arah masa depan kebijakan, pasar, bahkan stabilitas demokrasi itu sendiri. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *