Raperda Mineral Bukan Logam Tidak Terkait Kasus Zirkon, DPRD Kalteng Tegaskan Beda Konteks

HUKAM LOKAL

PRADANAMEDIA / PALANGKA RAYA – Ketua Komisi II DPRD Kalimantan Tengah (Kalteng), Siti Nafsiah, menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Mineral Bukan Logam (MBL) tidak ada kaitannya dengan kasus dugaan penyimpangan tambang zirkon yang baru-baru ini mencuat.

Menurutnya, sejumlah pihak keliru mengaitkan Raperda MBL dengan perkara yang tengah ditangani aparat penegak hukum. “Itu beda konteksnya,” tegas politisi Golkar tersebut, Minggu (7/9).

Perubahan Regulasi Kewenangan

Nafsiah menjelaskan, pada saat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 masih berlaku, kewenangan pengelolaan komoditas zirkon berada di tingkat kabupaten. Namun, setelah terbitnya regulasi baru, kewenangan tersebut beralih ke provinsi melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2023.

Selain itu, status zirkon juga bisa berubah menjadi Mineral Bukan Logam Jenis Tertentu (MBLJT) sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 147 Tahun 2022. Sementara itu, klasifikasi komoditas lainnya diatur lebih lanjut dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2022.

“Jadi, Raperda yang sedang dibahas ini murni untuk penataan dan kepastian hukum dalam pengelolaan MBL di daerah, bukan karena kasus zirkon,” ujarnya.

Dugaan Kerugian Negara Triliunan Rupiah

Sementara itu, kasus yang menyeret PT Investasi Mandiri masih terus didalami Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kalteng. Asisten Intelijen Kejati Kalteng, Hendri Hanafi, menyampaikan, terdapat dugaan penyimpangan dalam penjualan zirkon, ilmenite, dan rutil ke berbagai negara sepanjang 2020–2025.

“Berdasarkan bukti awal, kerugian negara diperkirakan mencapai Rp1,3 triliun. Nilainya bisa lebih besar jika dihitung dengan potensi kehilangan pendapatan negara dan daerah, termasuk kerusakan lingkungan,” jelas Hanafi dalam konferensi pers, Kamis (4/9).

Modus Operasi PT Investasi Mandiri

Hanafi memaparkan, PT Investasi Mandiri memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 2.032 hektare di Desa Tawang Kayangan dan Tumbang Miwan, Kabupaten Gunung Mas. IUP itu diterbitkan sejak 2010 dan diperpanjang pada 2020.

Namun dalam praktiknya, perusahaan diduga menggunakan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari Dinas ESDM Kalteng sebagai kedok untuk memuluskan penjualan zirkon. “Padahal faktanya, mereka menampung hasil tambang masyarakat dari berbagai desa di Katingan dan Kapuas, yang jelas berada di luar izin resmi,” ungkap Hanafi.

Atas temuan tersebut, Kejati Kalteng memastikan penyidikan akan terus dilanjutkan untuk mengusut dugaan pelanggaran izin, kerugian negara, serta dampak lingkungan dari aktivitas tambang ilegal ini. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *