Rangkap Jabatan Menteri dan Wakil Menteri: Melawan Konstitusi, Menyimpang dari Etika Publik

OPINI PUBLIK

Oleh: Furqan Jurdi / OPINI PUBLIK
Praktisi Hukum dan Penulis, Aktivis Muda Muhammadiyah

Fenomena rangkap jabatan di tubuh pemerintahan Indonesia kembali mencuat dan menjadi sorotan publik. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh penunjukan Menteri Investasi sekaligus Kepala BKPM, Rosan Roeslani, sebagai Chief Executive Officer (CEO) Danantara—entitas baru pengelola investasi dan BUMN. Tidak hanya itu, para pejabat tinggi negara lain seperti Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani, hingga pimpinan lembaga penegak hukum seperti Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPK, dan Ketua BPK juga dilibatkan dalam struktur pengawasan Danantara.

Kondisi ini mengindikasikan bahwa jabatan publik seolah-olah menjadi milik segelintir elite kekuasaan, yang terus mengkonsolidasikan kekuasaan dalam berbagai posisi strategis. Jika kemarin dilantik sebagai menteri atau wakil menteri, hari ini atau bulan depan bisa saja dilantik menjadi komisaris atau direktur BUMN. Orangnya itu-itu saja, seakan-akan bangsa ini kekurangan sumber daya manusia yang mumpuni.

Lebih lanjut, beberapa wakil menteri bahkan kini merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Sebut saja Wakil Menteri ESDM Yuliot yang ditunjuk sebagai Komisaris Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo sebagai Komisaris Utama BRI, Helvi Yuni Moraza sebagai Komisaris BRI, dan Fahri Hamzah sebagai Komisaris BTN. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena tidak hanya menabrak norma etika, namun juga melanggar konstitusi dan undang-undang yang berlaku.

Konstitusi Sudah Jelas: Rangkap Jabatan Itu Dilarang

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah secara tegas menyatakan bahwa baik menteri maupun wakil menteri dilarang merangkap jabatan di BUMN maupun perusahaan swasta. Putusan ini bukan hanya penegasan hukum, tapi juga peringatan bahwa jabatan publik tidak boleh digunakan untuk memperluas pengaruh pribadi atau kelompok.

MK menegaskan bahwa larangan tersebut bertujuan agar menteri dan wakil menteri dapat fokus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara profesional. Bahkan dalam putusan tersebut, Mahkamah menambahkan bahwa seluruh larangan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara juga berlaku bagi wakil menteri.

Melanggar Prinsip Negara Hukum

Rangkap jabatan ini secara terang-terangan menyalahi prinsip dasar dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Lebih jauh, Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945 menjamin hak atas kepastian hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Ketika jabatan-jabatan strategis hanya dikuasai oleh elite tertentu, maka hak warga negara lainnya untuk ikut serta dalam pemerintahan menjadi terampas.

Selain bertentangan dengan UUD 1945, rangkap jabatan juga melanggar Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yang dalam Pasal 25 dan 33 secara tegas melarang anggota direksi maupun komisaris merangkap jabatan yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.

Mengkhianati Semangat Reformasi

Rangkap jabatan bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi juga bentuk nyata pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Reformasi 1998 melahirkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam UU ini, ditegaskan bahwa setiap penyelenggara negara wajib menjalankan prinsip-prinsip akuntabilitas, kepastian hukum, kepentingan umum, profesionalitas, dan keterbukaan.

Rangkap jabatan justru memunculkan konflik kepentingan, ketidakefisienan birokrasi, dan potensi besar terjadinya kolusi serta penyalahgunaan kekuasaan. Negara tidak boleh dijalankan dengan prinsip “satu orang memegang semua”, karena itu bertentangan dengan sistem demokrasi yang sehat.

Presiden Harus Bersikap Tegas

Dengan seluruh argumentasi hukum, etika, dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, sudah sepatutnya Presiden Prabowo Subianto mengambil sikap tegas: mencopot menteri dan wakil menteri yang merangkap jabatan di BUMN. Jika tidak, maka presiden dapat dianggap membangkang terhadap konstitusi dan melanggengkan praktik buruk dalam penyelenggaraan negara.

Presiden harus menjadi teladan utama dalam menegakkan konstitusi dan semangat reformasi. Sikap diam hanya akan memperkuat persepsi bahwa kekuasaan digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bukan untuk rakyat.

Kami menyerukan kepada Presiden Prabowo untuk menjadi yang pertama dalam menegakkan prinsip konstitusional: menjauhkan penyelenggaraan negara dari praktik rangkap jabatan dan konflik kepentingan. Inilah saatnya membuktikan bahwa kekuasaan bisa digunakan secara benar—dengan tunduk pada hukum, bukan pada kepentingan. (EDITOR: RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *