Putusan MK Soal Pemilu Terpisah: Konstitusional, Bukan Kompromi Politik

NASIONAL POLITIK

**PRADANAMEDIA / JAKARTA – Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, menegaskan bahwa tidak semua pihak akan merasa puas terhadap sebuah putusan hukum, termasuk terhadap Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memerintahkan pemisahan jadwal antara pemilu nasional dan pemilu lokal mulai 2029.

Menurut Fajar, hal tersebut merupakan keniscayaan dalam praktik ketatanegaraan. Namun, ia menekankan bahwa putusan MK telah melalui proses peradilan yang sah dan merupakan bentuk penafsiran konstitusional yang paling otoritatif. Sebab, hanya MK yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk menafsirkan undang-undang secara final dan mengikat.

“Dalam putusan ini, saya kira Mahkamah Konstitusi sudah memberikan tafsir yang tegas: pemilu yang paling konstitusional adalah yang terpisah antara pemilu nasional dan pemilu lokal,” ujar Fajar dalam sebuah webinar pada Kamis (10/7).

Landasan Kuat dan Fleksibilitas Konstitusional

Fajar menjelaskan bahwa putusan ini tidak diambil secara serampangan, melainkan memiliki landasan konstitusional, yuridis, dan teoritis yang kokoh. Meski ada suara-suara yang mengkritik, hal itu menurutnya adalah bagian dari dinamika pengawalan demokrasi dan konstitusi.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa putusan tersebut memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan “rekayasa konstitusional” demi menyusun jadwal pemilu yang sesuai dengan prinsip pemisahan antara pemilu nasional dan daerah. Rekayasa tersebut, kata dia, bisa dituangkan melalui norma transisional dalam undang-undang.

“Selama pilihan kebijakan itu tetap mengarah pada pemisahan pemilu, maka itu adalah bentuk rekayasa konstitusional yang sah. Silakan dirumuskan oleh para pembentuk undang-undang,” tambah Fajar.

Belajar dari Sejarah Pemilu Indonesia

Fajar juga menyinggung bahwa praktik rekayasa konstitusional bukan hal baru dalam sejarah Indonesia. Ia merujuk pada tahun 1971, ketika masa jabatan anggota DPR diperpanjang demi menyinkronkan jadwal pemilu 1977. Hal serupa terjadi juga pada pemilu 1998, di mana masa jabatan DPR justru dipotong setahun karena desakan reformasi.

“Preseden itu bisa dianalisis dan dijadikan pertimbangan, tanpa harus dianggap sebagai satu-satunya jalan,” katanya.

Pemisahan Pemilu: Konsep Keserentakan yang Baru

Sebagaimana tercantum dalam Putusan 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan bahwa keserentakan pemilu yang sesuai konstitusi adalah ketika pemilu nasional dan lokal dilaksanakan secara terpisah.

Pemilu nasional yang mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, dan DPD akan digelar terlebih dahulu. Sementara pemilu lokal—yang meliputi pemilihan kepala daerah dan anggota DPRD—akan diselenggarakan antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden dan DPR hasil pemilu nasional.

Putusan ini sekaligus menandai perubahan mendasar dari pola pemilu serentak yang berlaku selama satu dekade terakhir, yang dinilai MK menyulitkan administrasi pemilu, membebani pemilih, dan mengganggu kualitas demokrasi substantif. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *