**PRADANAMEDIA / JAKARTA — Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, mengkritik keras putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah mulai tahun 2029. Ia menilai, langkah MK tersebut justru menurunkan martabat lembaga yudisial itu sendiri dan melampaui batas kewenangannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Mahkamah telah men-downgrade dirinya. Seharusnya MK hanya menguji konstitusionalitas suatu norma terhadap UUD 1945, bukan membentuk norma baru,” ujar Rifqi saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (7/7).

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah, menurut Rifqi, telah memasuki wilayah kewenangan yang secara konstitusional hanya dimiliki oleh pembentuk undang-undang, yakni Presiden dan DPR RI.
Rifqi juga menyoroti bahwa putusan baru ini bertentangan secara langsung dengan Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019. Ironisnya, kedua perkara tersebut diajukan oleh pihak yang sama, yakni Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan menyasar obyek hukum yang serupa.
“Ini menjadi persoalan serius. Ketika satu obyek hukum diuji dua kali dan menghasilkan putusan berbeda, maka prinsip final and binding dari putusan MK menjadi dipertanyakan,” tegas politisi Partai NasDem tersebut.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa Putusan MK Tahun 2019 telah menyerahkan desain keserentakan pemilu kepada Presiden dan DPR melalui mekanisme kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Namun kini, MK justru mengambil alih peran tersebut dengan menetapkan desain keserentakan secara sepihak.
“Pemilu 2024 kemarin saja kita jalankan berdasarkan prinsip keserentakan yang dikembangkan dari rekomendasi Mahkamah dalam putusan tahun 2019. Kini, Mahkamah tiba-tiba mengubah arah tanpa melibatkan pembentuk undang-undang,” jelasnya.
Rifqi menyatakan bahwa dirinya, mewakili sikap Fraksi Partai NasDem, menolak implementasi putusan tersebut karena dinilai menyalahi prinsip konstitusional. “Kalau kami menindaklanjuti putusan MK No. 135 Tahun 2024, maka kami justru melanggar konstitusi itu sendiri,” ujarnya.
Meskipun belum ada sikap resmi dari DPR maupun Komisi II DPR RI, Rifqi memastikan Fraksi NasDem telah mengambil posisi kritis terhadap putusan ini.
Putusan MK yang dipersoalkan itu memisahkan pemilu nasional (DPR, DPD, presiden/wakil presiden) dari pemilu daerah (DPRD dan Pilkada). MK menyarankan pemilu daerah digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan presiden dan anggota legislatif nasional.
Putusan tersebut telah memicu kontroversi di kalangan politisi, pengamat hukum tata negara, dan penyelenggara pemilu. Banyak yang menilai bahwa implikasi teknis, anggaran, dan stabilitas politik dari keputusan ini bisa sangat kompleks dan memerlukan kajian ulang menyeluruh. (RH)
