**PRADANAMEDIA/ JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) tak hanya dirancang sebagai upaya pemenuhan kebutuhan gizi anak-anak Indonesia, tetapi juga membuka peluang strategis dalam membangun pasar baru (captive market) bagi sektor pangan dan peternakan nasional. Hal ini diungkapkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) dalam diskusi publik bertajuk BGN Talks Episode 2: “Susu, Kunci Gizi Anak Indonesia?” yang ditayangkan melalui kanal YouTube resmi BGN pada Senin (9/6).
Menurut Prof. Epi Taufik, Guru Besar IPB sekaligus Tim Pakar BGN Bidang Susu, keberadaan program MBG membawa manfaat ganda. Di satu sisi, program ini menjamin hak anak atas gizi seimbang. Di sisi lain, MBG menjadi stimulus ekonomi baru dengan menciptakan pasar harian yang pasti untuk produk pangan lokal.

“Ini uang pajak rakyat yang kembali ke rakyat. Negara akan membeli bahan pangan setiap hari, dan itu berarti terciptanya pasar baru yang stabil dan besar,” ujar Epi.
Epi memaparkan, saat 30.000 dapur MBG beroperasi di seluruh Indonesia, permintaan terhadap bahan pangan seperti daging ayam, telur, dan susu akan meningkat secara signifikan. Diperkirakan, setiap dapur akan membutuhkan rata-rata 300 kg daging ayam, 3.000 butir telur, dan 400 liter susu per hari.
“Produksi nasional saat ini belum cukup, bahkan untuk melayani 10.000 dapur saja. Tak ada satu pun perusahaan besar yang sanggup memenuhi kebutuhan itu sendirian,” katanya.
Peluang Investasi dan Swasembada
Dengan besarnya kebutuhan tersebut, MBG dipandang sebagai pendorong pertumbuhan bagi peternak rakyat dan pelaku industri pangan lokal. Bahkan, BGN menyebut program ini dapat menarik minat investor baru ke sektor peternakan dan susu.
“Kalau dulu cari investor sulit, sekarang ada kepastian pasar. Inilah yang dimaksud Kepala BGN sebagai new emerging market,” tutur Epi.
Saat ini, Indonesia masih mengimpor sekitar 3,7 juta ton susu per tahun. Jumlah ini bisa meningkat hingga lebih dari 8 juta ton jika program MBG diperluas tanpa peningkatan produksi dalam negeri. Namun, Epi menekankan bahwa orientasi jangka panjang BGN bukan untuk menambah impor, melainkan mendorong swasembada pangan.
“Kita tidak ingin terus-menerus bergantung pada impor. MBG adalah stimulus untuk memperbanyak sapi, membuka peternakan baru, dan menaikkan kapasitas produksi nasional,” tegasnya.
Ketahanan Nasional Melalui Pangan
Lebih dari sekadar program gizi, MBG juga dipandang sebagai strategi nasional dalam menghadapi potensi krisis global di masa depan, seperti perang, pandemi, atau bencana iklim.
“Dua hal yang menentukan ketahanan negara adalah pangan dan energi. Waktu Covid-19, semua negara menahan stok pangan. Kita mau beli pun tidak bisa. Kalau kita punya produksi sendiri, kita bisa bertahan. MBG adalah salah satu jalannya,” jelas Epi.
Dengan demikian, MBG tak hanya menjawab kebutuhan gizi anak-anak, tetapi juga menjadi katalisator pertumbuhan industri pangan nasional dan bagian dari strategi besar menuju kemandirian pangan Indonesia. (RH)
