“PPPK dan Janji yang Tak Setara: Ketika Negara Lupa Menepati Pengabdian”

NASIONAL PEMERINTAHAN

OLEH : Firdaus Arifin Dosen – Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat

PRADANAMEDIA / JAKARTA – Ketika Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disahkan, publik birokrasi sempat menaruh harapan baru. Regulasi itu menegaskan bahwa ASN terdiri dari dua kelompok: Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Keduanya, di atas kertas, dijanjikan setara dalam prinsip, penghargaan, dan hak.

Namun seperti banyak janji negara lainnya, kesetaraan itu berhenti di atas kertas. Dalam praktik birokrasi, PPPK masih diperlakukan sebagai warga kelas dua. Mereka melewati seleksi nasional yang ketat, menempati posisi strategis yang sama dengan PNS, tetapi tetap hidup dalam ketidakpastian: tanpa jaminan karier, mobilitas jabatan, dan kepastian pensiun.

Harapan yang Tertunda

Revisi UU ASN yang kini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025 semestinya menjadi momentum memperbaiki ironi ini. Namun, pembahasannya kembali memantulkan wajah lama birokrasi: lamban, politis, dan terjebak pada kalkulasi fiskal.

Sebagian besar PPPK adalah mereka yang telah lama mengabdi sebagai guru, tenaga kesehatan, dan staf teknis di daerah. Dahulu mereka honorer, digaji seadanya, lalu dijanjikan kepastian hukum melalui skema PPPK. Kini, setelah diangkat, mereka justru terjebak dalam sistem yang belum siap memperlakukan mereka secara setara.

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2024 memang memperbarui struktur gaji dan tunjangan PPPK. Tetapi di lapangan, banyak pemerintah daerah kesulitan membayar karena beban belanja pegawai sudah melampaui batas 30 persen APBD. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.05/2020 hanya menjelaskan mekanisme teknis pembayaran gaji—tanpa menyentuh akar persoalan kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah.

Status Sama, Perlakuan Berbeda

Dalam jenjang karier, perbedaan makin jelas. PNS bisa berpindah antarinstansi, naik pangkat, dan menduduki jabatan struktural. PPPK sebaliknya: terikat kontrak, lokasi kerja, dan masa kerja yang bergantung pada perpanjangan tahunan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK).

Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK sebenarnya sudah membuka peluang mutasi antarinstansi dengan syarat persetujuan dua PPK. Namun, hingga kini birokrasi belum siap menjalankannya.

Banyak instansi tidak memiliki mekanisme mutasi bagi PPPK, membuat mereka terkungkung dalam lingkaran administrasi yang sempit. Ironisnya, di lapangan, PPPK sering memikul beban kerja yang sama—bahkan lebih berat—daripada PNS.

Negara menuntut loyalitas dan profesionalisme, tetapi kepastian hidup bagi PPPK masih menjadi kemewahan. Hak dasar seperti jaminan kecelakaan kerja dan kematian memang diatur dalam PP 49/2018 Pasal 99, namun jaminan pensiun dan karier yang setara belum juga nyata.

Ujian bagi Revisi UU ASN

Revisi UU ASN menjadi ujian keseriusan negara menegakkan prinsip meritokrasi. DPR mendorong sejumlah gagasan penting: penyetaraan hak pensiun PPPK dengan PNS, perpanjangan masa kontrak agar tak bergantung pada evaluasi tahunan, serta peluang alih status bagi PPPK berprestasi.

Namun pemerintah menanggapinya dengan hati-hati. Kekhawatiran akan beban fiskal kembali menjadi alasan klasik. Dalam rapat Komisi II DPR pada Maret 2025, pemerintah memperkirakan tambahan beban keuangan negara sekitar Rp 18 triliun per tahun jika hak pensiun PPPK disetarakan dengan PNS.

Solusi sementara yang dibahas adalah skema pensiun berbasis iuran bersama, di mana negara dan pegawai sama-sama menanggung kontribusi. Tetapi persoalan kesetaraan sejatinya bukan soal angka, melainkan soal penghargaan atas pengabdian.

Jika negara mampu menggelontorkan ratusan triliun rupiah untuk proyek ambisius dan subsidi politik, mengapa jaminan masa depan bagi aparatur yang melayani rakyat dianggap beban?

Jebakan Baru: PPPK Paruh Waktu

Revisi UU ASN juga perlu mewaspadai jebakan baru: kebijakan PPPK paruh waktu sebagaimana diatur dalam Keputusan MenPANRB Nomor 16 Tahun 2025. Tujuannya memang untuk menata tenaga non-ASN, namun jika tak diatur jelas dalam undang-undang, status “paruh waktu” bisa menjelma menjadi bentuk baru tenaga honorer—bekerja untuk negara tanpa kepastian karier.

Ketimpangan antara PNS dan PPPK bukan sekadar administratif, melainkan struktural. Birokrasi kita masih menilai pegawai dari status, bukan dari prestasi. Di banyak daerah, PPPK kerap diperlakukan sekadar “tenaga kontrak” yang bisa digerakkan sesuai kebutuhan politik lokal.

Menguji Nurani Negara

Laporan Ombudsman RI 2024 mencatat indikasi penyalahgunaan wewenang dalam perpanjangan kontrak PPPK di sejumlah daerah, terutama terhadap pegawai yang dianggap kritis. Kesenjangan ini bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga menghancurkan semangat reformasi birokrasi.

Reformasi ASN tak akan berarti bila negara terus memandang aparatur dari status hukum, bukan dari kontribusinya terhadap pelayanan publik. Keadilan birokrasi bukan sekadar angka dalam tabel gaji, melainkan bagaimana negara menghormati setiap pengabdian.

Skema pensiun berbasis iuran bersama bisa menjadi kompromi antara kemampuan fiskal dan keadilan sosial. Namun, fungsi Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) harus diperkuat untuk memastikan prinsip merit berjalan tanpa intervensi politik patronase.

Janji yang Harus Ditepati

Revisi UU ASN adalah cermin moral bagi negara. Bila kesetaraan hanya menjadi retorika, dan nasib PPPK terus dibiarkan di ruang tunggu, maka yang gagal bukan undang-undangnya, melainkan nurani negara yang kehilangan rasa adil.

Setelah satu tahun penerapan UU ASN baru, publik birokrasi kini menanti bukti, bukan janji. Di sekolah, rumah sakit, dan kantor pelayanan publik, rakyat tak peduli siapa yang melayani mereka—PNS atau PPPK. Yang mereka harapkan hanyalah pelayanan yang cepat, jujur, dan manusiawi.

Negara seharusnya menjawab dengan kebijakan yang adil, bukan diskriminatif. PPPK telah menunjukkan loyalitas tanpa jaminan; kini giliran negara menepati janji tanpa alasan.

Reformasi birokrasi sejati bukan tentang efisiensi, melainkan tentang keberanian menegakkan keadilan di tubuh negara sendiri. (RH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *